Khawatir KPPU ‘Main Mata’ dalam Penerapan Pre-Merger Notification
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Khawatir KPPU ‘Main Mata’ dalam Penerapan Pre-Merger Notification

Kewajiban penyampaian dokumen sebelum rencana merger atau akuisisi dilaksanakan kepada KPPU dikhawatirkan bocor ke pihak lain sehingga merugikan pelaku usaha yang berencana melakukan rencana aksi korporasi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ketua HKHPM Indra Safitri. Foto: RES
Ketua HKHPM Indra Safitri. Foto: RES
Kewajiban pelaku usaha meminta restu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebelum rencana penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akuisisi) dilaksanakan menuai pro dan kontra. Praktik yang dikenal dengan pre-merger notification nantinya bakal tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Indra Safitri, berpendapat bahwa praktik pre-merger notification dilakukan di banyak negara yang memiliki undang-undang persaingan usaha atau antimonopoli. Sementara UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sendiri masih menerapkan rezim pelaporan dan persetujuan pasca terjadinya merger ataupun akuisisi (post notification). Itu artinya dari sisi konsultan hukum akan terjadi penyesuaian dari sisi praktiknya ke depan.

Pre-merger lebih menantang bagi lawyer untuk mempersiapkan informasi lebih baik agar syarat dalam UU Persiangan Usaha (UU 5/1999) bisa terpenuhi dan rencana transaksi tidak batal. Kalau setelah merger (post-merger), itu cenderung dapat menimbulkan dampak kalau itu bertentangan. Dia (perusahaan yang merger) sudah berlaku masa dibatalin lagi,” kata Indra kepada hukumonline di Jakarta, Sabtu (29/7).

Sebelumnya pengaturan notifikasi diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyebut pelaku usaha yang melakukan rencana aksi korporasi wajib dilaporkan kepada KPPU paling lambat 30 hari sejak tanggal merger tersebut berlaku efektif. Pemberlakuan rezim notifikasi post-merger memungkinkan KPPU memerintahkan pelaku usaha yang telah merger untuk ‘berpisah’ kembali lantaran merger dinilai melanggar prinsip anti persaingan usaha.

Dalam ketentuan lain, upaya pemerintah meminimalisir resiko anti persaingan juga tertuang dalam Pasal 126 ayat (1) huruf c UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UUPT) yang tegas mengatur perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Di satu sisi, pembatalan merger yang telah terjadi sangat merugikan meskipun sejauh ini KPPU belum pernah memutuskan rencana aksi korporasi yang telah dilakukan suatu perusahaan melanggar prinsip persaingan usaha.

Selain konsultan hukum dituntut lebih jeli mempersiapkan skema transaksi, Indra menilai ada isu lanjutan yang mesti diantisipasi salah satunya ‘kebocoran’ informasi penting milik pelaku usaha yang akan melangsungkan merger atau akuisisi. Potensi kebocoran informasi kemungkinan bisa terjadi baik dari konsultan hukum atau regulator dalam hal ini KPPU yang menerima dokumen rencana merger dan akuisisi yang tak jarang bersifat rahasia. Meski dicatat, regulasi memberi wewenang kepada KPPU untuk meminta dokumen tambahan untuk menilai rencana aksi korporasi tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999.

“Itu adaconfidentiality agreement-nya. KPPU harus menjaga rahasia kalau tidak digugat lah kalau sampai bocor dari KPPU. (Contohnya) di OJK kita sampaikan surat bahwa (dokumen) rahasia. Dia harus tanggung jawab menyimpan kalau bocor harus dipermasalahkan,” kata Indra.

(Baca Juga: Salah Kaprah Leniency Program dalam Revisi UU Persaingan Usaha)

Selain potensi kebocoran, berubahnya notifikasi menjadi pre-notification dikhawatirkan menghambat proses merger atau akuisisi. Pasalnya, tata cara merger atau akuisisi telah diatur waktu kerja (timeline). Tahap awal merger atau akuisisi diawali dengan pembuatan rancangan merger di mana dalam praktiknya para pihak membuat perjanjian misalnya CSPA yang di dalamnya diatur syarat yang harus dipenuhi pihak penjual dan pihak pembeli antara lain due diligence (uji tuntas) terkait izin perusahaan, riwayat kepemilikan saham, dan sebagainya. Setelah due diligence selesai baru dibuat rancangan merger.

Mengacu ke UUPT, rancangan merger di dalamnya memuat nama dan perseroan apa yang akan menggabungkan diri, alasan mengapa dilakukan merger, bagaimana penghitungan saham dari perusahaan dan rancangan merger harus mendapat persetujuan dari dewan komisaris masing-masing perseroan baik yang akan menggabungkan diri maupun yang akan menerima penggabungan paling lambat 45 hari sebelum RUPS. Selanjutnya, rancangan merger harus diumumkan di surat kabar serta karyawan masing-masing perusahaan 30 hari sebelum pemanggilan RUPS.

Singkatnya, setelah RUPS menyetujui merger maka rancangan merger tersebut dituangkan dalam akta notaris dan disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM. Akta merger tersebut harus mendapat persetujuan dari RUPS paling lambat 30 hari dari tanggal akta. Setelah itu, merger yang dinilai efektif wajib diumumkan pada surat kabar selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal efektif merger.

“Kalau pre-merger dilakukan, KPPU harus mengerti. Jangan memperlambat. Baca laporan (merger) harus cepat dan rahasia,” kata Indra.

Prosedur & Time Table Rencana Aksi Korporasi Berdasarkan UU Perseroan Terbatas:

ProsedurLini WaktuDasar Hukum UU 40/2007
Merger
Rancangan merger disusun bersama-sama oleh Direksi masing-masing pihak H-45+ Pasal 123
Pengumuman Ringkasan Rancangan Merger di surat kabar dan pengumuman kepada karyawan H-45 (paling lambat) Pasal 127 (2_
Keberatan kreditur H-45 s.d H-31 Pasal 127 (4)
Panggilan RUPS H-15 (paling lambat) Pasal 82 (1)
RUPS dan penandatanganan Akta Merger H Pasal 89 dan Pasal 128
Persetujuan Menkumham H+30 (paling lambat) Pasal 21 (7)
Pengumuman Selesainya Merger Efektif Merger + 30 (paling lambat) Pasal 133
Akuisisi (Melalui Direksi)
Penyusunan rancangan akuisisi (bersama-sama Direksi masing-masing) H-45+ Pasal 125 (6)
Pengumuman ringkasan rancangan akuisisi dan pengumuman kepada karyawan H-45 (paling lambat) Pasal 127 (2)
Keberatan kreditur H-45 s.d H-31 Pasal 127 (4)
Panggilan RUPS H-15 (paling lambat) Pasal 82 (1)
RUPS H Pasal 89
Penerbitan saham baru kepada pemegang saham baru H+ Pasal 128 (1)
Akuisisi (Melalui Pemegang Saham)
Pengumuman rencana akuisisi dan pengumuman kepada karyawan H-45 (paling lambat) Pasal 127 (2)
Keberatan kreditur H-45 s.d H-31 Pasal 127 (4)
Panggilan RUPS H-15 (paling lambat) Pasal 82 (1)
RUPS H Pasal 89
Akta jual beli saham H Pasal 128 (2)
Pemberitahuan kepada menkumham H+30 (paling lambat) Pasal 131
Pengumuman selesainya akuisisi Efektif akuisisi + 30 (paling lambat) Pasal 133
Konsolidasi
Rancangan konsolidasi disusun bersama-sama Direksi masing-masing pihak H-45+ Pasal 123
Pengumuman ringkasan rancangan konsolidasi dan pengumuman kepada karyawan H-45 (paling lambat) Pasal 127 (2)
Keberatan kreditur H-45 s.d H-31 Pasal 127 (4)
Panggilan RUPS H-15 (paling lambat) Pasal 82 (1)
RUPS dan penandatanganan akta konsolidasi dan akta pendiriaan perseroan hasil konsolidasi H Pasal 89 dan Pasal 128
Permohonan persetujuan Menkumham H+30 (paling lambat) Pasal 21 (7)
Pengumuman selesainya konsolidasi Efektif konsolidasi + 30 (paling lambat) Pasal 133
Sumber: IAB&F Law Firm              
Senada dengan Indra, Partner dari firma hukum Arfidea Kadri Sahetapy-Engel Tisnadisastra (AKSET), Abadi Abi Tisnadisastra mengatakan isu kerahasiaan selalu jadi perhatian lantaran KPPU seringkali meminta dokumen-dokumen yang terkadang tidak dapat dikonsumsi untuk publik. Hal itu bukan berarti pelaku usaha tidak mau memberikan dokumen kepada KPPU, hanya saja mesti dipastikan bahwa data-data tersebut terjaga kerahasiaan dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan lainnya.

(Baca Juga: Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Angka)

Confidentiality selalu jadi concern karena KPPU itu meminta data-data yang top-down, kalau ini berkaitan dengan parent company yang 2-3 layer di atas target company di Indonesia itu mereka mintakan juga data-datanya. Kadang-kadang, data di level ada yang terbuka publik tapi ada juga yang data-data yang bukan konsumsi publik tapi kita serahkan ke KPPU,” kata Abi kepada Hukumonline, Sabtu (29/7).

Sekedar tahu, Pasal 55 RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur Komisioner KPPU dan pegawai KPPU dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain. Bagi yang melanggar terancam sanksi berupa administratif dan pidana menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya nanti, penjabaran soal kerahasiaan informasi ini akan diatur melalui Peraturan KPPU.

Terlepas dari persoalan itu, Abi menyebutkan praktik pre-merger notification bukan hal yang baru diterapkan di Indonesia. Selama ini, KPPU telah menerapkan hal tersebut namun tidak secara mandatory. Dengan kata lain, pelaku usaha dapat memilih opsi melaporkan rencana merger atau akuisisi kepada KPPU sepanjang menghendaki namun tetap wajib meminta persetujuan pasca merger atau akuisisi 30 hari sejak berlaku efektif.

“Dalam praktenya memang tidak terlalu berjalan karena pilihan. Makanya semua rata-rata lari ke ranah post notification,” kata Abi.

Sebelum terbitnya PP Nomor 57 Tahun 2010tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU lebih dulu menyusun pedoman pelaksanaan dengan menerbitkan Peraturan KPPU Nomor 01 Tahun 2009 tentang Pranotifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan. Peraturan KPPU tersebut mulanya diperuntukan untuk mengisi kekosongan lantaran PP Nomor 57 Tahun 2010 tak kunjung terbit.

PP Nomor 57 Tahun 2010 mengenal dua sistem notifikasi, yakni mandatory post-merger notification (pemberitahuan) dan voluntary pre-merger notification (konsultasi).Kedua sistem notifikasi tersebut seolah-olah jalan tengah atas pertentangan sistem notifikasi dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan Peraturan KPPU Nomor 01 Tahun 2009.

Pemberitahuan post-merger merupakan kewajiban bagi pelaku usaha yang wajib dilakukan paling lambat 30 hari kerja sejak perbuatan hukum berlaku efektif. Dalam hal pelaku usaha tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU, maka pelaku usaha dikenakan sanksi denda administratif Rp 1 milyar sampai Rp 25 milyar.

Penerapan PP Nomor 57 Tahun 2010 ternyata menimbulkan perbedaan penafsiran antara pemberitahuan dan konsultasi. Karenanya, KPPU menerbtikan Peraturan KPPU Nomor 11 Tahun 2010tentang Konsultasi Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan.

(Baca Juga: Memperkuat ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lewat Aturan Penyalahgunaan Posisi Tawar Dominan)

Salah satu substansi Peraturan KPPU Nomor 11 Tahun 2011 adalah mengenai thresholdmerger atau akuisisi saham perusahaan yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah nilai aset Rp 2,5 triliun dan/atau nilai penjualan melebihi Rp 5 triliun dan khusus untuk pelaku usaha di bidang perbankan, batasan nilai ditetapkan Rp 20 triliun.

Mesti dicatat, konsultasi tidak bersifat wajib sehingga punya konsekuensi hasil konsultasi bukan merupakan persetujuan atau penolakan rencana merger dan tidak menghapus kewenangan KPPU melakukan penilaian ketika post-merger sekalipun KPPU telah mempertimbangkan sejumlah aspek diantranya hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi, dan kepailitan.

“Begitu ada wacana lagi, kita dari konsultan hukum akan mempertanyakan apakah KPPU sekarang sudah secara organisasi lebih siap dan menyiapkan perangkat dan infrastruktur yang mumpuni untuk bisa membuat proses ini menjadi mungkin untuk dilakukan. Problemnya dengan post notification, kami baru bisa dapatkan konfirmasi clereance dari KPPU itu dalam periode yang sangat lama. Dalam 30 hari kita harus submit kalau tidak akan kena denda, tetapi  kapan KPPU harus berikan clereance bahwa ini tidak ditemukan adanya indikasi pelanggaran dalam prakteknya bisa setahun bahkan lebih,” kata Abi.

Merujuk dalam Pasal 63 ayat (1) RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU harus melakukan penilaian paling lama 25 hari kerja terkait rencana merger atau akuisisi. Namun, Abi mempertanyakan apakah batas waktu tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh KPPU. Pasalnya, bila threshold aset yang dilaporkan masih bernilai Rp2,5 triliun sampai Rp 200 triliun untuk perbankan, besar kemungkinan KPPU akan kebanjiran permohonan rencana merger atau akuisisi. Menurut Abi, ambang threshold tersebut mesti dikaji kembali agar di satu sisi KPPU tidak terlalu banyak menerima permohonan.

“Harus dipikirkan angka yang tepat, yang pasti lebih tinggi. kalau mau diterapkan ini (pre-merger notification), harusnya KPPU menyiapkan threshold-threshold yang lebih stringent (ketat) sehingga tidak semua transaksi nanti akan dilaporkan. Karena nanti kalau semua transaksi, KPPU akan kerepotan,” kata Abi.

UU Nomor 5 Tahun 1999RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak SehatKeterangan
Pasal 28:
(1)  Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)  Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut. dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30:
(1)  Pelaku Usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
(2)  Pelaku Usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan jika tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengaturan lebih lanjut terkait merger dan akuisisi diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP). Artinya akan revisi dalam PP Nomor 57 Tahun 2010.
Pasal 29:
(1)  Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungannya, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
(2)  Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 31:
(1)  Rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset atau rencana pembentukan usaha patungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualan melebihi jumlah tertentu, wajib memperoleh persetujuan KPPU sebelum penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset, atau pembentukan usaha patungan berlaku efektif secara yuridis.
(2)  Sebelum mendapatkan persetujuan KPPU, instansi yang berwenang dalam mengeluarkan izin penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan, tidak dapat melanjutkan proses penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan Pelaku Usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)  Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Beralih dariPost Notification menjadi Pre Notification.
Pasal 47:
(1)  Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2)  Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.    penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15 dan pasal 16 ; dan atau
b.    perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.     perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.    perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.    penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud Pasal 28; dan atau
f.     penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.    pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggitingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah).
Pasal 32:
(1)  Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan/atau Pasal 31 dikenakan sanksi administratif berupa:
a.    penghentian penyalahgunaan Posisi Dominan;
b.    penolakan atas penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukanusaha patungan;
c.     pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan yang tidak melalui persetujuan KPPU;
d.    pengenaan denda paling rendah 5% (lima persen) atau paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai penjualan dari Pelaku Usaha pelanggar dalam kurun waktu pelanggaran;
e.    pengenaan denda paling rendah 5% (lima persen) atau paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai transaksi Pelaku Usaha atas pelanggaran penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan yang tidak melalui persetujuan KPPU;
f.     rekomendasi pencabutan izin usaha kepada lembaga yang menerbitkan izin usaha; dan/atau
g.    publikasi para pihak dalam daftar hitam Pelaku Usaha.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
-Pasal 61:
(1)  Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pelaku Usaha wajib mengajukan kepada KPPU permohonan penilaian atas:
a.    rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha;
b.    rencana pengambilalihan saham;
c.     rencana pengambilalihan aset; atau
d.    rencana pembentukan usaha patungan.
(2)  Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)wajib dilampiri analisis rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset, atau rencana pembentukan usaha patungan.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPPU.
Ada ketentuan baru soal kewajiban melapirkan analisis rencana merger dan akuisisi. Sebelumnya tidak diatur dalam UU No.5 Tahun 1999.
-Pasal 62:
Penilaian atas rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset, ataurencana pembentukan usaha patungan, dilakukan oleh Majelis Komisi.
-
-Pasal 63:
(1)  Penilaianatas rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset, atau rencana pembentukan usaha patungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja terhitung sejak permohonan mendapatkan nomor registrasi dari KPPU.
(2)  Dalam hal KPPU tidak memberikan penilaian atas rencana penggabungan atau rencana peleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset, atau rencana pembentukan usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu yang ditentukan, permohonan dianggap diterima dan disetujui.
Ada batas waktu yang mesti diperhatikan KPPU dalam memberikan penilaian selama 25 hari kerja harus segera memberikan penilaian.
-Pasal 64:
Hasil penilaian atas pemberitahuan rencanapenggabungan atau rencanapeleburan badan usaha, rencana pengambilalihan saham, rencanapengambilalihan aset, atau rencana pembentukan usaha patungansebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dinyatakan dalam Putusan KPPU.
-
-Pasal 65:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset,atau pembentukan usaha patungan diatur dalam Peraturan KPPU.
-
Sementara, Komisioner KPPU Sukarmi memastikan KPPU akan mengaja kerahasiaan setiap dokumen rencana merger atau akuisisi yang dilaporkan pelaku usaha ketika pengaturan pre-merger notification dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diberlakukan. Berbeda ketika post-merger notification, identitas pelaku usaha yang dituju untuk merger telah lebih dulu diketahui publik sebelum KPPU melakukan penilaian apakah hasil merger atau akuisisi tersebut melanggar prinsip persaingan usaha.

“Tentu KPPU harus berhati-hati. KPPU harus menjaga confidentiality dokumen yang disampaikan pelaku usaha yang akan lakukan merger atau akuisisi. Misalkan ada potensi adanya abuse of dominant, kan KPPU memberi catatan tapi kita tidak publikasikan,” kata Sukarmi di Jakarta, Selasa (1/8).

Terlepas dari itu, Sukarmi mengatakan ada kemungkinan ambang batas nilai aset dan/atau nilai penjualan melebihi nilai aset Rp 2,5 triliun dan/atau nilai penjualan melebihi Rp 5 triliun dan khusus untuk pelaku usaha di bidang perbankan batasan nilai ditetapkan Rp 20 triliun dikaji kembali mengingat aturan tersebut disusun tahun 2010. Namun soal besaran yang akan diusulkan Sukarmi masih belum bisa menejelaskan lebih lanjut.

Sementara, terkait batas waktu maksimal 25 hari kerja untuk penilaian rencana merger atau akuisisi, Sukarmi tak menampik jangka waktu 25 hari itu amat sempit bagi KPPU. Namun, ia mengatakan masa tersebut dihitung sepanjang dokumen yang diminta KPPU kepada pelaku usaha sudah seluruhnya disampaikan. Dan mesti dicatat, katanya, kewajiban memenuhi dokumen berada di pelaku usaha bukan kewajiban dari KPPU.

“Penghitungan 25 hari itu dengan catatan dokumen lengkap ya. Yang wajib melengkapi itu mereka, bukan dari beban KPPU yang cari karena yang punya kepentingan mereka. Kita punya kepentngan untuk menilai, menilai butuh dokumen, 25 hari dinilai sejak memenuhi seluruh kewajiban data secara komplit. Kalau belum kita kembalikan, 25 hari itu amat sempit,” kata Sukarmi.
Tags:

Berita Terkait