Kinerja Legislasi DPR, Partisipasi dan Aspirasi Publik Diabaikan
Berita

Kinerja Legislasi DPR, Partisipasi dan Aspirasi Publik Diabaikan

DPR harusnya bisa menyelesaikan target legislasi. Namun, faktanya porsi pembahasan APBN-P lebih banyak bagi Komisi dibandingkan legislasi.

Oleh:
Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Berakhirnya masa sidang V DPR ditandai dengan disetujuinya RUU Paten menjadi UU Paten. Sebelumnya, DPR menyetujui RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dan RUU Pilkada menjadi undang-undang. Jumlah itu hanya sepertiga dari target yang dijanjikan pada awal masa sidang, yaitu 9 RUU. Dua dari tiga RUU yang disetujui pun dinilai bermasalah secara prosedur, yakni tertutup dan tidak representatif.  

Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 berpendapat, masa sidang V dimulai sejak 17 Mei sampai 28 Juli 2016. Ada sekitar 43 hari kerja bagi DPR untuk menyelesaikan 9 RUU. Dengan jumlah 11 Komisi, DPR harusnya bisa menyelesaikan target legislasi. Namun, faktanya porsi pembahasan APBN-P lebih banyak bagi Komisi dibandingkan legislasi. Menurut koalisi, kondisi ini tidak diperhitungkan oleh DPR di awal masa sidang.

“DPR kurang efektif dalam bekerja dan member kesan mengikuti ritme pemerintah dalam menentukan agenda,” kata perwakilan koalisi, Ahmad Hanafi, dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), dalam rilis yang diterima hukumonline, Senin (1/8).

Sepanjang Masa Sidang V 2016, (IPC) memantau pembahasan 4 RUU, yaitu RUU Migas, RUU Minerba, RUU Pilkada dan RUU Tax Amnetsy. Berdasarkan hasil pantauan, ditemukan beberapa permasalahan.  

1. Rapat pembahasan bersifat tertutup dan jauh dari jangkauan publik

Terdapat 48 sidang diselengarakan untuk membahas 4 RUU tersebut.31 diantaranya dilaksanakan secara tertutup. 27 diantaranya dilaksanakan di luar gedung DPR.

Text Box: Tabel 1. Prosentase rapat terbuka vs tertutup dalam pembahasan RUU Migas, RUU Minerba, UU Tax Amnesty dan UU Pilkada.
Grafik 1. Prosentase rapat terbuka vs rapat tertutup dalam pembahasan RUU Migas, RUU Minerba, RUU Tax Manesty, dan RUU Pilkada.

Lima puluh persen lebih rapat tertutup menunjukkan bahwa DPR berkecenderungan membelakangi publik dalam membahas urusan-urusan publik.

Dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak, dari 33 sidang hanya 10 yang terbuka untuk penjaringan aspirasi publik, 23 sisanya diselenggarakan secara tertutup dan dilaksanakan di luar gedung DPR. Sementara UU Pilkada, dari 7 kali rapat pembahasan, 5 diantaranya tertutup dan 2 kali diselenggarakan di luar gedung DPR. Sementara RUU Migas dan RUU Minerba, seluruh rapatnya bersifat tertutup.

Secara hukum, Pimpinan Komisi II, Komisi VII dan Komisi XI tidak patuh terhadap ketentuan pasal 229 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam pasal itu menyatakan bahwa prinsip dasar rapat DPR adalah terbuka kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. "Tertentu" bukan berarti ditafsirkan secara bebas oleh pimpinan sidang. Seharusnya, ada rujukan hukum untuk memberi kepastian bagi publik, misalnya Pasal 14 UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), tentang pengecualian informasi.

Penafsiran sepihak oleh anggota DPR terhadap rapat tertutup tidak membuka ruang partisipasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpuasan publik. Terlebih, UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak berpotensi menimbulkan perhatian yang kuat dari publik karena banyak kepentingan di dalamnya.

“Selain rapat yang tertutup, akses publik yang dibuka terhadap dokumen hasil pembahasan RUU juga terbatas,” ujar Ahmad.

2. Sedikit Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan RUU

Sedikitnya ruang partisipasi masyarakat diindikasikan dengan dua hal. Pertama, rapat yang tertutup. Kedua forum konsultasi publik yang tidak massif yang hanya mengandalkan RDPU semata.

Text Box: Grafik 2. Para pihak yang dilibatkan dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak

Grafik 2. Para pihak yang dilibatkan dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak.

Dari grafik di atas, kata Ahmad, dapat dilihat hanya satu komunitas masyarakat sipil yang dilibatkan oleh Komisi XI sebagai kelompok kepentingan. Sisanya adalah kelompok akademisi dan stakeholder pelaksana UU. RUU Pengampunan Pajak dibahas dalam kurun waktu dua bulan dan marathon tanpa putus.

Sedangkan pihak yang dilibatkan dalam pembahasan RUU pilkada adalah para pelaksana UU Pilkada. Dibahas dalam kurun waktu 20 hari kerja efektif, 10 hari kerja pada masa sidang IV dan 10 hari kerja pada masa sidang IV.

Sementara, RUU Migas dan RUU Minerba masih melibatkan pihak secara terbatas, mitra dari pemerintah karena masih dalam masa perumusan RUU oleh DPR. “Tapi, bukankah masa perumusan seharusnya dibuka ruang seluas-luasnya untuk menjaring aspirasi masyarakat,” kata Ahmad.

Dia melanjutkan, proses singkat dalam pembahasan RUU Pilkada dan RUU Pengampunan Pajak berbanding terbalik dengan proses Penyusunan RUU Migas dan RUU Minerba.  Dari berbagai informasi yang dihimpun IPC proses penyusunan terkesan lambat, hal ini disebabkan adanya faktor kepentingan yang sengaja memperkuat status quo.

Menurut Ahmad, DPR tidak representatif dalam membahas RUU. “Tak heran begitu UU disahkan, sejumlah kelompok kepentingan, bahkan stakeholder pelaksana UU mengajukan Gugatan Judicial Review (JR) ke MK,” katanya.
UUGugatan atau Rencana GugatanJudicial ReviewPengaju GugatanMateri Gugatan
UU Pilkada3 Gugatan1.Komisi PemilihanUmum (KPU RI).
Statement oleh Ida Budhiati Komisioner KPU

2.Perkumpulan Teman Ahok, Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI), Dan Kebangkitan Indonesia Baru (KIB) difasilitasi GNCI.

3.Perludem dan ICW
Konsultasi KPU dengan DPR yang bersifat mengikat dalam proses pembentukan aturan

Verifikasi calon independen




Legalisasi politik uang
UU Pengampunan Pajak2 Gugatan yang sudah didaftarkan ke MK1.Yayasan SatuKeadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indoenesia (SPRI). Pendaftran 18 Juli 2016

2. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Statement media oleh Said Iqbal (Presiden KSPI)
Pendaftaran 22 Juli 2016
UU Pajak dinilai tidak adil secara keseluruhan

Tabel 1. Gugatan dan Rencana Gugatan Judicial Review terhadap UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak.

Berdasarkan evaluasi di atas, sambung Ahmad, Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 mendesak kepada DPR untuk membuka rapat-rapat pembahasan RUU, membuka dokumen legislasi kepada publik melalui sarana penyebaran informasi yang dimiliki DPR, dan melibatkan lebih banyak kelompok kepentingan dalam pembahasan RUU.

Tags:

Berita Terkait