Kisah Fiksi Kegalauan Pengacara Ibukota
Resensi

Kisah Fiksi Kegalauan Pengacara Ibukota

“Hitam Putih” harus diakui berhasil memenuhi kualifikasi label “Worklit”.

Oleh:
HOT (HOLE)
Bacaan 2 Menit

Membangun sebuah plot cerita apik dengan menggunakan banyak angle memang bukan pekerjaan yang mudah. Hal inilah yang terlihat diupayakan Penulis dalam mengonstruksikan Dewa sebagai pengacara muda yang telah memiliki segalanya, namun merasa ada yang kurang dengan hidupnya.

Penulis terlihat kesulitan untuk mengambil angle apa yang sebenarnya membuat Dewa tiba-tiba menjadi ‘galau’. Bahkan, sayangnya, Penulis tidak mengelaborasi lebih jauh kegalauan bentuk apa yang sedang dihadapi Dewa.

Apakah ia muak dengan kemunafikan aparat hukum? Apakah dia lelah dengan pressure dari berbagai kasus yang dihadapi sebagai pengacara? Atau mungkinkah dia menjadi ‘galau’ hanya karena keraguannya terhadap Raras?

Absennya angle cerita yang jelas dalam “Hitam Putih”, membuat plot cerita yang dibangun terkesan tidak terarah. Kalaupun Penulis ingin membuat pembaca menerka-nerka dengan ujung cerita Dewa dan kemudian terkejut dengan ending-nya, upaya ini sepertinya juga tidak berhasil karena pemaparannya melebar kemana-mana dan tidak memberikan deskripsi yang detail.

Tak hanya itu, seringkali cerita karakter Dewa juga disisipi oleh informasi-informasi yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah alias mubazir. Dengan kata lain, ada beberapa paragraf dan halaman, yang kalau dilewatkan begitu saja tidak akan mengurangi nilai dan jalannya cerita Dewa.

Seandainya Penulis memilih satu angle cerita saja, bisa jadi karakter Dewa dalam “Hitam Putih” dapat terjahit dengan lebih baik. Masa pengerjaan yang ‘hanya’ dua bulan, mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa Penulis sepertinya kesulitan mengelaborasi satu angle yang fokus.

‘Beruntung’ ketidakjelasan angle “Hitam Putih” tertolong dengan label “Worklit” yang dipajang kecil tetapi mencolok di halaman muka buku. “Worklit” seperti makna dari “Teenlit” adalah novel yang fokus ceritanya seputar dunia profesi. Dan “Hitam Putih” harus diakui berhasil memenuhi kualifikasi label “Worklit”.   

Lebih dari itu, upaya Penulis untuk menghidupkan (kembali) genre fiksi hukum di Indonesia tetap layak diacungi jempol. “Hitam Putih” memberikan sebuah bacaan bermutu, yang tidak selalu berputar-putar di masalah percintaan, komedi, ataupun mistis.

Sebagai contoh, narasi yang dibangun Penulis ketika Dewa menganalisis gugatan perwakilan terhadap seorang kepala daerah, bisa memberikan pengetahuan tambahan bagi mereka yang mungkin tidak familiar dengan upaya hukum selain gugatan.

Sekali lagi, keberanian Budi Satrio menelurkan satu karya novel fiksi hukum layak diganjar apresiasi dan penghormatan. Mungkin, langkah Budi dapat memancing karya-karya lain serupa dari kalangan hukum maupun non-hukum. Semoga.

Tags:

Berita Terkait