Kisah Japin dalam Penegakan Hukum Perkebunan
Berita

Kisah Japin dalam Penegakan Hukum Perkebunan

Seorang kepala adat berjuang bertahun-tahun lewat pengadilan dan Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan tanah ulayat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pada September 2011, Mahkamah Konstitusi –kala itu dipimpin Moh. Mahfud MD—mengabulkan permohonan Japin dan kawan-kawan. Mahkamah menilai unsur-unsur dalam Pasal 21 UU Perkebunan yang berbunyi ‘dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya’ adalah rumusan yang terlalu luas dan tidak memberikan batasan yang jelas. Akibatnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Demikian pula, frasa ‘penggunaan tanah perkebunan tanpa izin’ yang sanksinya diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Perkebunan. Mahkamah berpendapat penetapan sanksi tidak bisa diseragamkan melainkan harus dilihat dulu kasusnya: kapan lahan itu diperoleh, apakah tanah yang diduduki merupakan tanah adat atau bukan, dan apakah pendudukan tanah karena keadaan darurat sudah diizinkan penguasa atau belum.

Mahkamah juga menegaskan kasus-kasus konflik perkebunan yang terjadi sangat mungkin disebabkan tidak adanya batas yang yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

(Baca juga: Pasal-Pasal Merugikan Petani Dibatalkan MK).

Judianto Simanjuntak, pengacara Japin pada tahap peninjauan kembali, bercerita di forum yang sama, permohonan PK yang mereka ajukan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘amunisi’. “Dan akhirnya permohonan PK dikabulkan,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, majelis hakim yang memutus perkara PK tersebut mengakui putusan MK sebagai novum, dan menyatakan majelis judex juris memutus perkara berdasarkan berdasarkan aturan yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Majelis kasasi memutus  menolak permohonan kasasi Japin dkk pada 21 Juni 2012. Padahal MK sudah memutuskan pasal 21  jo Pasal 47 ayat (1) UU Perkebunan bertentangan dengan konstitusi pada 9 September 2011.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien menyebut putusan PK itu sebagai kemenangan judicial korban, sekaligus pembelajaran bagi pengacara publik dalam mengadvokasi dan membela para korban konflik perkebunan sawit dengan warga. Namun yang lebih terpenting adalah bagaimana menyelesaikan konflik warga dengan perkebunan secara baik-baik.

Kasus Japin termasuk salah satu yang mendapat perhatian komunitas internasional dalam kaitan antara bisnis dan hak asasi manusia. Persoalannya masih terus dirundingkan antara masyarakat dengan perusahaan. Perusahaan bersedia mengembalikan jika bisa diverifikasi bahwa tanah yang diklaim adalah tanah adat dan bisa diverifikasi batas-batasnya dalam peta yang dibuat.

Kisah Japin merefleksikan apa yang diputar dalam video berdurasi 12 menit itu, sebuah jalan terjal yang tetap harus diiringi asa ketika melewatinya.

Tags:

Berita Terkait