Kisah Pengacara dan Gugurnya Pasal Penghinaan Presiden
Utama

Kisah Pengacara dan Gugurnya Pasal Penghinaan Presiden

Sejak dulu banyak aktivis dijerat dengan tuduhan menghina martabat presiden dan wakil presiden. Berkat permohonan pengacara dan aktivis, pasal penghinaan kepada presiden akhirnya gugur.

Oleh:
M. Yasin
Bacaan 2 Menit

Upaya Eggi Sudjana tak sia-sia. Disertai dissenting opinion, Mahkamah menyatakan Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah berpendapat pasal penghinaan kepada presiden menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan. Ketika dipakai aparat penegak hukum terhadap demonstran, Pasal 134, 136 bis, dan 137 ‘berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi.

Bahkan pasal itu bisa dipakai ketika ada upaya hukum terhadap presiden manakala ada dugaan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945. Upaya melakukan klarifikasi kepada presiden atas dugaan pelanggaran hukum, yang diatur Pasal 7A UUD 1945, berpeluang ditafsirkan sebagai penghinaan kepada presiden.

Meskipun berhasil ‘menggugurkan’ nyawa Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP, Eggi tetap dihukum pengadilan. Proses hukumnya hingga ke tingkat peninjauan kembali. Ia tetap dihukum tiga bulan percobaan.

*****

Pasal penghinaan kepala negara telah menjerat banyak aktivis sejak masa kemerdekaan sampai masa reformasi. Mulai dari aktivis nasional, hingga mahasiswa di daerah. Jumlah pastinya tak diketahui. Putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah ‘menghapuskan’ peluang penggunaan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP, meskipun pasal penghinaan lain tetap bisa dipakai.

Saat meluncurkan buku ‘Tafsir Konstitusi, Berbagai Aspek Hukum’ di aula Fakultas Hukum Universitas Sahid, 20 November 2011, Taufiqurrahman Syahuri mengungkap impian agar kelak presiden-presiden Indonesia tak menggunakan Pasal 134 KUHP. Sepanjang pengetahuan komisioner Komisi Yudisial itu, hanya Presiden Gus Dur dan Presiden BJ Habibie yang tak pernah menggunakan Pasal 134 KUHP, atau tak digunakan aparat penegak hukum di bawah presiden untuk membungkam aktivis.

Meskipun perbuatan demonstran pada hakikatnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan, kata Taufiq, Habibie dan Gus Dur tak pernah mengadukan langsung atau meminta polisi menerapkan Pasal 134 KUHP. Menurut dia, langkah aparat menerapkan pasal karet warisan Belanda itu sangat bergantung pada karakter seorang pemimpin.

Tags:

Berita Terkait