Kita Bukan yang Dulu Lagi
Tajuk

Kita Bukan yang Dulu Lagi

Meskipun tahun-tahun di depan tidak menjanjikan kepastian, tetapi hanya menjanjikan ketidakpastian dan perubahan. Marilah kita sambut Tahun Baru 2022 dengan semangat untuk bangkit dan bekerja dengan kolaborasi yang menyenangkan.

Oleh:
RED
Bacaan 7 Menit

Dunia industri menghadapi gejala dan dampak yang sama dengan begitu banyaknya disrupsi yang terjadi. Industri besar nampaknya cukup siap menghadapi berbagai disrupsi, karena selama satu dasawarsa terakhir, mereka sudah berancang-ancang melakukan transformasi digital dalam kegiatan usahanya, sehingga konsep WFH untuk orang kantorannya sudah tidak asing dan tidak terlalu banyak mempengaruhi kinerja. Yang tidak cukup mereka perhitungkan adalah disrupsi dalam rantai pasok yang terputus atau terganggu waktu penyerahan di sana-sini, apalagi untuk industri yang masih tergantung dari pasokan teknologi, tenaga ahli, dan pendanaan luar negeri, serta bahan baku yang masih banyak diimpor.

Dalam proses pengambilan keputusan, dunia industri yang “advanced” juga sudah terbiasa dengan penerapan GCG, risk-based decision making dan kini prinsip-prinsip ESG (environment, social & governance). Perusahaan-perusahaan ini sudah sangat peduli dengan cara-cara melakukan operasi berkelanjutan, dan karenanya paham untuk melakukan pelibatan masyarakat setempat sebagai social ring defence mereka. Penerapan ESG juga digunakan sebagai cara untuk tetap bertahan hidup, karena dunia perbankan, lembaga keuangan dan pemodal hanya bersedia memberikan pembiayaan dan investasi dalam industri yang paham dan patuh pada prinsip-prinsip ESG.

Dengan keikutsertaan Indonesia dalam gerakan UNCOP26, maka jelas politik hukum dan luar negeri kita memang mencari peluang untuk ikut serta dalam gerakan perubahan iklim ini agar tidak tersisih dari pergaulan dunia. Sekaligus, ini peluang untuk menetapkan strategi mendapatkan dukungan dibolehkannya menerapkan masa transisi yang cukup. Strategi ini disertai dengan permintaan bantuan pendanaan agar kebijakan green economy, yang dibutuhkan oleh negara-negara seperti Indonesia, agar kita mampu seiring dan sejalan dengan negara maju dalam meraih capaian gerakan ini.

Tuntutan yang wajar saja, karena negara-negara maju sudah mengeksploitasi sumber daya alam selama ratusan tahun dengan merusak lingkungan, dan setelah kaya raya menghendaki negara yang belum semaju mereka untuk menghentikan eksploitasi alam. Dengan komitmen ini, mau tidak mau industri kita harus menyesuaikan diri. Kebijakan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, memaksa sektor swasta untuk ikut ke dalam barisan, dengan ritme dan kemampuannya masing-masing.

Perusahaan yang fokus usahanya berada di bidang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi mereka yang langsung terdampak, utamanya yang menggunakan energi fosil sebagai produk maupun sebagai sumber daya dalam proses produksinya. Sekali lagi, pemain besar mempunyai “tabungan”, aset dan daya raih pendanaan yang kuat dalam mengikuti langkah besar dunia ini. Pengusaha menengah dan kecil akan terancam kecuali mereka banting setir, dan memasuki pasar, produk atau jasa baru.

Pengambilan-pengambilan keputusan untuk melakukan penyesuaian inilah yang akan mewarnai dunia pemerintahan dan sektor swasta serta masyarakat sipil, serta kita masyarakat, keluarga dan orang per orang, karena orientasi dan gaya hidup akan jauh berubah. Sementara penyesuaian besar lainnya harus dilakukan secara bersamaan karena disrupsi pandemi dan transformasi atau bahkan revolusi digital.

Dunia hukum tidak luput dari gelombang perubahan besar ini. Proses legislasi, termasuk perumusan hukum dan peraturan perundangan, proses negosiasi dan pembuatan transaksi hukum, dan penyelesaian sengketa akan diwarnai oleh sejumlah indikator: (i) proses pelibatan publik dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan harus tetap dilakukan dengan menggunakan proses digital yang akan sanggup mengolah big data dan memetakan semua kebutuhan pemangku kepentingan; hal ini harus dilakukan dengan berkurangnya cara dan frekuensi pertemuan secara tatap muka; (ii) keberagaman, inklusivitas, perlakuan adil serta penghargaan HAM dalam semua kegiatan akan tetap harus dimunculkan dalam semua perumusan kebijakan dan kegiatan transaksional, (iii) wisdom dari para pemikir dan praktisi dengan integritas tinggi akan tetap punya peran dalam memberi keseimbangan baru atas hasil perumusan kebijakan dan kegiatan transaksional serta penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dibimbing dan disajikan melalui olah data dan teknologi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait