K&K Advocates Menjawab Penerapan Perma 1 Tahun 1956 dalam Penangguhan Perkara Pidana
Hukumonline In-House Counsel Choice 2021

K&K Advocates Menjawab Penerapan Perma 1 Tahun 1956 dalam Penangguhan Perkara Pidana

Penerapan Perma 1 Tahun 1956 dapat dilakukan sejak perkara dalam proses penyelidikan atau penyidikan. Adapun penangguhan tersebut memberikan keuntungan bagi para penegak hukum dalam efektivitas dan efisiensi proses penyelidikan/penyidikan.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Partner, K&K Advocates. Foto: Istimewa.
Partner, K&K Advocates. Foto: Istimewa.

Secara teoritis, ada banyak sekali jenis perkara yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan ini tentu harus dilakukan penyelesaian; di mana yang paling sering ditemui dalam praktik hukum di Indonesia, adalah perkara perdata dan pidana. 

Dispute Resolution Partner K&K Advocates, Wardaya, S.H., M.H. mengungkapkan, mekanisme penyelesaian keduanya, sebenarnya telah diatur oleh hukum perdata dan pidana. Hukum perdata bersifat privat yang mengatur kepentingan, hak, maupun kewajiban antarindividu; sementara hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan hukum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut, dapat diancam dengan hukuman. 

Kendati ada perbedaan di antara hukum perdata dan pidana; pada praktiknya, tidak jarang keduanya terkait satu sama lain. Misalnya, ketika perkara pidana memuat sengketa hak yang bersifat perdata; dan sengketa tersebut dapat menentukan apakah ada tindak pidana dalam perkara pidana tersebut. 

Sayangnya, hingga saat ini, tidak ada satu ketentuan pun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Acara Pidana; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau HIR (Herzien Inlandsch Reglement); atau undang-undang terkait lain yang mengatur mekanisme penyelesaian yang harus dilakukan oleh para penegak hukum apabila terjadi keadaan seperti ini. Namun, jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 (Perma 1 Tahun 1956), Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan tentang mekanisme penyelesaian yang dapat dilakukan apabila terjadi keterkaitan seperti ini. Mekanisme penyelesaian tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 1 yang menyatakan, “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Penangguhan perkara tersebut tidak dapat diterapkan pada semua perkara, tetapi hanya terbatas pada perkara terkait sengketa pengadilan yang timbul dari sengketa yang diperiksa; sementara pengadilan yang sedang memeriksa tidak berwenang untuk memutus perkara tersebut; sehingga diperlukan pengadilan lain yang berwenang lebih dulu (prejudicial geschil) sebagaimana dimaksud dalam Sema Nomor 4 Tahun 1980—prejudiciel  a l' action (perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam Pasal 284 KUHP dan question prejudiciel au jugement yang menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP.

Pasal tersebut memberikan kewenangan (bukan kewajiban) kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan dan menunggu putusan Hakim Perdata,” kata Wardaya.

_gSfv_PdlcJ1CKwciZCNc86KIqS2rwGiHQA3tjWsPartner K&K Advocates, Wardaya, S.H., M.H. Foto: Istimewa. 

Pertimbangan dan Praktik Penerapan Perma 1 Tahun 1956

Di tengah banyaknya perdebatan antara ahli hukum, penegak hukum, maupun para praktisi hukum, Wardaya menilai, penangguhan tersebut seharusnya berlaku sebagai kewajiban, khususnya dalam perkara yang melibatkan hak kebendaan (kepemilikan). Apalagi dalam proses penyidikan, kepolisian diberikan wewenang untuk melakukan upaya paksa yang tentu saja akan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara pidana.

Tags: