Koalisi Apresiasi Terdakwa Kasus Mutilasi Warga Papua Divonis Seumur Hidup
Terbaru

Koalisi Apresiasi Terdakwa Kasus Mutilasi Warga Papua Divonis Seumur Hidup

Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya menghukum terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskkus Dakhi dengan penjara seumur hidup dan dipecat dari dinas militer. Putusan ini sudah semestinya dapat menjadi acuan terhadap 8 terdakwa lainnya yang masih akan menjalani persidangan yang terdiri dari 4 pelaku militer dan 4 pelaku sipil.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari perwakilan keluarga korban, Paham Papua, ALDP, KontraS, LBH Papua, Elsam Papua, LBH Kaki Abu, Yayasan Pustaka Bentala Rakyat, TAPOL, Amnesty International Indonesia, Human Rights monitor, dan SOS untuk Tanah Papua mengapresiasi putusan majelis hakim Peradilan Militer Tinggi III Surabaya yang menghukum terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi dengan penjara seumur hidup dan dipecat dari dinas militer.

Sebagaimana diketahui, proses persidangan peristiwa pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga di Mimika Papua yang berlangsung di Pengadilan Militer III-19 Jayapura digelar secara terpisah yakni perkara nomor 404-K/PM.III-19/AD/XII/2022 menghadirkan 4 orang terdakwa yakni Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktav Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw. Perkara nomor 395-K/PM.III-19/AD/XI/2022 dengan terdakwa Pratu Rahmat Amin Sese, dan perkara nomor 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 dengan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki.

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan majelis hakim membacakan putusan perkara nomor 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 itu pada Selasa (24/01/2022) kemarin. Proses persidangan yang berlangsung di Jayapura itu menyebut terdakwa menjabat sebagai komandan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana diatur pasal 340 jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan hukuman seumur hidup. Terdakwa juga dipecat dari kesatuannya di TNI.

“Berdasarkan putusan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM mengapresiasi bunyi putusan tersebut,” kata Rivanlee saat dikonfirmasi, Rabu (25/1/2023).

Koalisi mencatat majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani memutuskan setidaknya 5 hal. Pertama, unsur tindak pidana penadahan sebagaimana pada dakwaan Primair dalam Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP tidak terbukti.

Kedua, unsur tindak pidana Pencurian dengan kekerasan sebagaimana pada dakwaan subsidair diatur dalam Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP tidak terbukti. Ketiga, terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo.55 ayat (1) Ke-1 (Dakwaan Lebih Subsider).

Keempat, Pasal 121 ayat (1) KUHPM terbukti/Dakwaan Alternatif. Kelima, hal-hal yang memberatkan antara lain perbuatan terdakwa meresahkan dan memberikan trauma kepada korban dan masyarakat. Merusak hubungan antara TNI dan masyarakat Papua. Merusak citra TNI di masyarakat dan perbuatan terdakwa sadis, tidak berperikemanusiaan, dan melanggar HAM.

Kendati belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) Rivanlee menilai putusan itu menjadi angin segar bagi perjuangan keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya. Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim tergolong berat dan hakim berani untuk memutus perkara dengan tidak terikat pada tuntutan Oditur Militer. “Hal ini tentu saja akan menjadi preseden yang cukup baik, mengingat spiral kekerasan terus berlangsung, utamanya bagi warga sipil Papua dengan melibatkan aparat TNI/Polri,” ujarnya.

Bagi Rivanlee, putusan ini menunjukkan Oditurat tidak memperhatikan konteks holistik permasalahan di Papua dalam mencari kebenaran materil selama proses persidangan berlangsung. Selain tidak mewakili kepentingan korban, sejak awal struktur dakwaan yang disusun sangatlah problematis dengan menempatkan pasal Penadahan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan Primair. Adapun selama proses persidangan, Oditur juga terlihat setengah hati, terbukti pada pembacaan tuntutan yang hanya 4 tahun.

Rivanlee menegaskan putusan terhadap Mayor Dakhi sudah semestinya dapat menjadi acuan terhadap delapan terdakwa lainnya yang masih akan menjalani persidangan yang terdiri dari 4 pelaku militer dan 4 pelaku sipil. Koalisi akan terus melakukan pengawalan terhadap seluruh rangkaian proses persidangan agar keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya mendapat keadilan pada kasus pembunuhan dan mutilasi 4 warga sipil di Timika, Papua.

Tags:

Berita Terkait