Koalisi Beberkan Data Pentingnya Ratifikasi Konvensi ILO 190
Terbaru

Koalisi Beberkan Data Pentingnya Ratifikasi Konvensi ILO 190

Karena memberikan landasan hukum bagi semua pihak tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja; baik itu pekerja, pihak manajemen, dan serikat buruh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pekerja perempuan
Ilustrasi pekerja perempuan

Kalangan serikat buruh mengusung beragam tuntutan dalam memperingati hari buruh internasional atau May Day setiap 1 Mei. Salah satu tuntutan yang disuarakan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil dalam peringatan May Day 2022 yakni ratifikasi Konvensi ILO No.190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di dunia kerja. Serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menekankan pentingnya konvensi ILO tersebut.

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (SBPI), Dian Septi Trisnanti, mengatakan aliansi sudah menyarakan ratifikasi sejak konvensi itu disahkan di Jenewa dalam sidang ILO 21 Juni 2019. Aliansi sudah membuat naskah akademik, melakukan kampanye, demonstrasi, dan berbagai pertemuan untuk menyampaikan pentingnya ratifikasi konvensi ILO No.190.

Potensi kekerasan dan pelecehan tak hanya dihadapi pekerja/buruh di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dian mencatat 7 negara yang meratifikasi konvensi itu yakni Uruguay, Argentina, Ekuador, Somalia, Namibia, Fiji, dan Yunani. “Padahal dengan segera meraifikasi KILO 190, ini akan menyelesaikan persoalan kekerasan dan pelecehan yang banyak dialami para pekerja di Indonesia,” katanya ketika di konfirmasi, Selasa (10/5/2022).

Baca:

Dalam kurun waktu setahun ini Aliansi mencatat eksploitasi kerja menimpa pekerja di bidang film karena jam kerjanya panjang yakni 16-20 jam per hari. Riset koalisi seni tahun 2021 menunjukkan secara umum perempuan pekerja seni bekerja dengan intensitas lebih tinggi dan beban emosional besar. Tidak dibekali keterampilan kerja yang cukup, dan kurang punya pengaruh dalam mengambil keputusan serta jam kerja panjang.

Survei upah layak AJI Jakarta tahun 2021 menyebut jurnalis perempuan relatif mendapat upah lebih rendah ketimbang laki-laki. Kondisi serupa juga dapat dilihat dari hasil survei lembaga PR2Media tahun 2021 yang mengungkap 85,7 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikis dan kekerasan digital.

Aliansi juga mencatat selama masa pandemi Covid-19 di industri manufaktur dan garmen pekerja perempuan dipaksa bekerja dengan jam kerja yang semakin panjang dengan upah lebih rendah dengan dalih no work no pay (pencurian upah). Bahkan catatan AFWA tahun 2020 sebanyak 21 persen pekerja garmen mengalami pencurian upah yang berakibat penurunan upah sampai 37 persen dan berimbas pada turunnya daya beli pekerja/buruh.

Buruh perempuan di industri garmen harus mengemban pekerjaan rumah tangga dengan harga barang kebutuhan pokok yang terus meningkat. Selain itu buruh perempuan kontrak kerjanya rawan tidak diperpanjang, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, bekerja tanpa K3 yang memadai yang berdampak pada kesehatan.

Dian menegaskan konvensi ILO No.190 penting diratifikasi karena pekerja banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dengan risiko kekerasan dan pelecehan seksual. “Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 dapat memberikan landasan hukum bagi semua pihak tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja baik itu pekerja, manajemen, dan serikat buruh untuk menghadapi masalah ini,” tegasnya.

Bagi Dian, konvensi ILO No.190 sangat khusus melindungi pekerja/buruh dari rumah sampai tempat kerja dan kembali lagi ke rumah. Konvensi ini tak hanya mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja, tapi secara luas di dunia kerja. Konvensi juga mengakui kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berimbas pada kerja-kerja mereka. Memberi pengakuan kepada seluruh pekerja baik formal dan informal. Konvensi ini juga mengakui pemagang (internship), relawan, sebagai pekerja.

Tags:

Berita Terkait