Koalisi Catat Wilayah Adat yang Diakui Pemerintah Hanya 15 Persen
Terbaru

Koalisi Catat Wilayah Adat yang Diakui Pemerintah Hanya 15 Persen

Ego sektoral Kementerian/Lembaga seperti KLHK, ATR/BPN, dan KKP menjadi hambatan dalam proses pengakuan wilayah hukum adat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kepala BRWA  Kasmita Widodo dan Divisi Data dan Informasi BRWA Ariya Dwi Cahya. Foto: Istimewa
Kepala BRWA Kasmita Widodo dan Divisi Data dan Informasi BRWA Ariya Dwi Cahya. Foto: Istimewa

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) berhasil meregistrasi 1.119 peta wilayah adat yang luasnya mencapai 20,7 juta hektar. Wilayah itu tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya, mengatakan luas wilayah adat yang teregistrasi itu meningkat 3,1 juta hektar. Kenaikan paling signifikan berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara seluas 2,1 juta hektar dan kabupaten Jayapura, Papua 0,9 juta hektar.

Dari luas tersebut, ada 189 wilayah adat yang luasnya mencapai 3,1 juta hektar telah mendapat pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan Kepala Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar yaitu sekitar 17,7 juta hektar.

“Dengan demikian baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah,” kata Ariya dalam diskusi bertema “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2022”, Selasa (9/8/2022).

Menurut Ariya, pengakuan hak masyarakat hukum adat atas hutan dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat juga belum menggembirakan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerbitkan surat keputusan hutan adat sejak terakhir penyerahan SK yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Danau Toba Februari 2022 silam.

Kepala BRWA, Kasmita Widodo, mengatakan capaian hutan adat masih berjumlah 89 hutan adat dengan luas 75,783 hektar. Dari informasi yang diperoleh tim BRWA Kalimantan Barat, KLHK telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Sintang. “Tapi kami belum memperoleh informasi terbaru jumlah dan luasan hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK itu,” ujarnya.

Selain itu, kementerian ATR/BPN belum memulai proses pengakuan tanah ulayat atau pendaftaran tanah ulayat melalui mekanisme penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Padahal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) seharusnya meliputi pendaftaran tanah ulayat.

Kasmita melihat masih kental ego sektoral antara KLHK, ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi hambatan pendaftaran tanah ulayat. “Tidak mungkin masyarakat adat mendaftarkan tanah ulayat atau wilayah adat ke ATR/BPN hanya untuk yang berada di luar kawasan hutan. Jadi, masyarakat adat perlu menghadapi setidaknya tiga kementerian tersebut untuk pengakuan wilayah adatnya,” lanjut Kasmita.

Mengingat sampai saat ini pemerintah dan DPR belum menerbitkan RUU Masyarakat Adat, Kasmita menjelaskan kerangka hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat bertumpu pada berbagai UU yang sifatnya sektoral. Termasuk kebijakan pemerintah daerah melalui Perda dan Keputusan Kepala Daerah.

Proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini melibatkan peran aktif para pihak, selain masyarakat adat itu sendiri. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dan pusat sangat krusial. Begitu pula peran para pendamping masyarakat adat dari organisasi masyarakat sipil dan akademisi,” papar Kasmita.

Sebagai informasi, BRWA adalah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat yang dibentuk tahun 2010. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang berinisiatif membentuk BRWA meliputi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW).

Tags:

Berita Terkait