Koalisi HATI Sampaikan 7 Rekomendasi Penghapusan Hukuman Mati
Terbaru

Koalisi HATI Sampaikan 7 Rekomendasi Penghapusan Hukuman Mati

Antara lain mendesak Pemerintah dan DPR menghapus ketentuan hukuman mati dalam RKUHP dan berbagai UU lainnya. Merevisi UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi agar proses pengajuan grasi tidak berbelit untuk memastikan hak terpidana tidak terlanggar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Indonesia masih menerapkan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mendorong pemerintah untuk menghapus pidana mati. Salah satu anggota Koalisi HATI, Direktur Eksekutif Imparsial, Gubron Mabruri mengatakan tren penghapusan hukuman mati di ranah Internasional semakin kuat. Buktinya, ada 144 negara tidak menerapkan hukuman mati baik sudah menghapus pidana mati ataupun moratorium.

Bagaimana dengan Indonesia? Gufron melihat Indonesia bertolak belakang dengan tren global yang mendukung penghapusan hukuman mati karena masih menjatuhkan vonis hukuman mati di berbagai tingkat peradilan. “Kami memandang, semakin meningkatnya jumlah vonis pidana mati menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam upaya melindungi hak hidup warga negaranya,” kata Gufron ketika dikonfirmasi, Senin (11/10/2012).

Selain Imparsial, Koalisi HATI terdiri dari PBHI, Elsam, KontraS, ICJR, YLBHI, HRWG, SETARA Institute, FIHRRST, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, PKNI, Yayasan Satu Keadilan, Migrant Care, IKOHI, PILNET, INFID.  

Menurut Gufron, masih dijatuhkan vonis pidana mati di Indonesia tidak sesuai dengan citra yang dibangun pemerintah Indonesia di level internasional. Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022 dan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Tapi faktanya Indonesia belum mendukung rekomendasi moratorium atau abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan Dewan HAM PBB.

Dalam sidang UPR, Gufron mencatat setidaknya ada 20 rekomendasi terkait hukuman mati yang tidak digubris pemerintah. Pemerintah menggunakan pendekatan canggung dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif pada RKUHP. (Baca Juga: Jalan Tengah Hukuman Pidana Mati Alas Profesor Muladi)

Gufron berpendapat hukuman mati tidak pantas diterapkan di Indonesia mengingat proses hukum dan sistem peradilan di Indonesia masih memiliki banyak masalah serius seperti peradilan sesat, korupsi, kekerasan, salah tangkap, minimnya akses bantuan hukum berkualitas dan transparansi.

Alasan yang kerap digunakan untuk melakukan hukuman mati antara lain hukuman mati dianggap sebagai solusi untuk masalah kriminalitas di Indonesia, seperti narkotika, terorisme dan korupsi. Padahal hasil di lapangan menunjukan hukuman mati tidak membantu mengurangi tingkat kejahatan. Untuk kejahatan terorisme, hukuman mati malah menjadi tujuan dari teroris itu sendiri karena dianggap sebagai jihad.

Atas dasar itu, kata Gufron, Koalisi mengusulkan sedikitnya 7 hal. Pertama, mendesak pemerintah membatalkan semua rencana eksekusi mati pada masa yang akan datang dan secepatnya memberlakukan moratorium hukuman mati serta menghapus pidana yang terindikasi adanya praktik peradilan yang tidak adil (unfair trial). Kedua, Presiden perlu membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengkaji permohonan-permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati.

Ketiga, melakukan evaluasi dan kajian terhadap perkara kasus terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar, adil, dan akuntabel, sehingga menutup peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Keempat, menghapus pidana mati dalam RKUHP dan berbagai UU lainnya. Kelima, merevisi UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi, khususnya terkait batas waktu permohonan grasi dalam kasus terpidana mati, yang tidak boleh dibatasi oleh waktu sebagaimana yang telah dibatalkan dalam Putusan MK No.107/PUU-XII/2015.

“Serta terkait proses pengajuan grasi yang tidak boleh berbelit-belit untuk memastikan hak terpidana tidak terlanggar,” lanjutnya.

Keenam, Presiden perlu menetapkan PP untuk menjalankan UU Grasi yang dapat menjadi standar atau pedoman bagi Presiden dalam memberikan keputusan terkait permohonan grasi terpidana mati dengan mengacu pada prinsip-prinsip HAM. Ketujuh, membentuk tim untuk meninjau kondisi terpidana mati dalam Lapas dan memastikan langkah-langkah komutasi pada pidana mati.

Sebelumnya, Kepala Balitbang Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk merevisi RUU KUHP terutama tentang hukuman mati. Saat ini sudah terdapat 400 orang yang mendapatkan hukuman mati, dan sebaiknya kebijakan ini perlu diubah.

“Pengadilan juga bisa memberikan masa percobaan dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, 10 tahun, jika dalam 10 tahun tersebut penerima pidana hukuman mati menunjukkan perilaku baik, maka pengadilan perlu mengkaji ulang hukuman yang dijatuhkan,” ujarnya sebagaimana dikutip laman www.balitbangham.go.id.

Tags:

Berita Terkait