Koalisi Laporkan 3 Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ke PBB
Terbaru

Koalisi Laporkan 3 Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ke PBB

3 masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang dilaporkan meliputi regulasi; perlindungan; dan perspektif gender.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi bertema Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi KBB di Indonesia Periode 2017-2021 dalam UPR Indonesia 2022, Kamis (14/4/2022).
Narasumber dalam diskusi bertema Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi KBB di Indonesia Periode 2017-2021 dalam UPR Indonesia 2022, Kamis (14/4/2022).

Indonesia akan mengikuti universal periodic review (UPR) atau tinjauan berkala universal tahun 2022 yang akan digelar Badan HAM PBB. Koalisi yang terdiri dari Ahlulbait Indonesia, BASOLIA, LBH Masyarakat, Fahmina Institute, Fatayat Nahdlatul 'Ulama Bandung, Gusdurian, HRWG, IMPARSIAL, YLBHI, INKLUSIF, LK3 Banjarmasin, JAKATARUB, KontraS, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, dan lainnya telah menyampaikan laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) periode 2017-2021 ke Dewan HAM PBB. 

Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto, dalam UPR periode sebelumnya tahun 2017, pemerintah Indonesia mendapat 20 rekomendasi terkait jaminan perlindungan hak atas KBB. Sayangnya, tidak semua rekomendasi yang diterima pemerintah itu dilaksanakan dengan baik. Setidaknya ada 3 persoalan KBB yang dilaporkan koalisi kepada PBB.

Pertama, persoalan regulasi terkait KBB. Koalisi mencatat masih ada regulasi baik di tingkat nasional dan daerah yang bertentangan dengan norma KBB yang dijamin hukum dan HAM. Misalnya, penodaan agama (blasphemy) yang diatur dalam Pasal 156a KUHP; di ranah digital terdapat Pasal 28 ayat 2 UU ITE jo Pasal 45A ayat 2 UU ITE; dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM 2006).

“Regulasi itu sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat atau kelompok yang tidak sejalan dengan pemahaman mainstream. Bahkan menjadi sarana pembatasan atas KBB, khususnya terkait pendirian rumah ibadat,” kata Ardi dalam diskusi bertema Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi KBB di Indonesia Periode 2017-2021 dalam UPR Indonesia 2022, Kamis (14/4/2022) kemarin.

Baca:

Begitu juga di tingkat daerah, Ardi mencatat masih banyak regulasi yang bertentangan dengan prinsip HAM. Tahun 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 421 regulasi di tingkat daerah (dalam bentuk Perda dan surat edaran) yang bersifat diskriminatif. Setidaknya 151 diantara regulasi tersebut bernuansa agama tertentu, seperti bernuansa syariat Islam, Kristiani atau Hindu, yang tidak mempertimbangkan tradisi dan ajaran agama atau norma lokal.

Beberapa peraturan di tingkat lokal itu antara lain Peraturan Gubernur Jawa Timur (Pergub) No.55 tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur; Peraturan Gubernur Jawa Barat (Pergub) No.12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat; dan surat edaran Nomor: 300/ 1321- kesbangpol tentang himbauan pelarangan perayaan Asyura di kota Bogor.

Tags:

Berita Terkait