Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) menilai terbitnya Permendikbud Komite Sekolah dilatarbelakangi upaya peningkatan mutu layanan sekolah yang selalu terkendala pendanaan. Sebab, selama ini pendanaan pendidikan sekolah ternyata tidak cukup hanya bersumber dari APBN dan APBD
“Dalam konteks ini, Mendikbud membuat kebijakan baru yang diklaim sebagai revitalisasi Komite Sekolah agar mampu menggalang dana publik selain pungutan sekolah,” tulis KMSTP dalam rilisnya yang diterima hukumonline, Jum’at (20/1) kemarin. KMSTP ini terdiri dari Artikel 33, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Indonesia Corruption Watch (ICW).
KMSTP menilai Permendikbud No. 75 Tahun 2016 ini tidak lebih baik daripada Kepmendiknas No. 44 Tahun 2002. Dalam Kepmendiknas No. 44 Tahun 2002 disebut tujuan keberadaan Komite Sekolah menciptakan iklim transparan, akuntabel, dan demokratis agar penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan lebih bermutu di setiap satuan pendidikan. “Tetapi, hal ini tidak terlihat di Permendikbud 75Tahun 2016,” sebutnya.
Apalagi, saat ini tata kelola sekolah berkaitan aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masih sangat buruk. Penyusunan program, kegiatan, anggaran dan pertanggungjawaban keuangan sekolah masih dilakukan secara tertutup oleh pihak sekolah tanpa melibatkan Komite Sekolah dan orang tua murid.
“Tugas dan fungsi yang sebelumnya cukup banyak dimiliki Komite Sekolah dalam Kepmendiknas 44Tahun 2002, tetapi kini dipotong dan direduksi dalam Permendikbud 75 Tahun 2016. Jadi dimana letak revitalisasinya?” (Baca Juga : Permendikbud 75/2016 Lahir, Komite Sekolah Boleh Galang Dana)
Menurut KMSTP, selama ini fungsi kontrol Komite sekolah tidak berjalan efektif. Seharusnya, fungsi checks and balance dalam pengelolaan sekolah perlu diperkuat dalam Permendikbud tersebut. “Seharusnya ini membutuhkan penegasan, tetapi sayangnya hal ini luput dalam kebijakan baru itu.”
Koalisi juga menyoroti pengangkatan pengurus Komite Sekolah yang masih ditetapkan oleh Kepala Sekolah. Seharusnya Kepala sekolah cukup mengetahui pengangkatan Pengurus Komite Sekolah. Menurutnya, apabila pengangkatan dan penetapan pengurus Komite Sekolah masih oleh Kepala Sekolah dikhawatirkan, Komite Sekolah semakin tidak independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya terhadap sekolah.
Pergeseran Pungutan
Catatan lain, Permendikbud 75 Tahun 2016 melarang Komite Sekolah semua jenjang pendidikan menarik pungutan dari orang tua murid. Namun, Komite Sekolah ditugaskan menggalang bantuan dari publik dan sumbangan dari orang tua murid. Koalisi mempertanyakan bagaimana pungutan yang biasa ditarik Komite Sekolah di jenjang sekolah menengah atas (SMA/SMK) selama ini?
“Besar kemungkinan pungutan ini akan diambil alih oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru dan bendahara). Sebab, selama ini sekolah pada jenjang menengah atas mengandalkan dana pungutan Komite Sekolah untuk membiayai berbagai program dan kegiatan,” ungkapnya. (Baca Juga : ICW : Modus Utama Korupsi Pendidikan adalah Penggelapan)
Dengan begitu, jika Komite Sekolah dilarang menarik pungutan,sangat dimungkinkan pihak sekolah yang mengambil alih menarik pungutan dari peserta didik atau orang tua murid. Sebab, hingga saat ini belum ada peraturan yang melarang pihak sekolah di jenjang pendidikan menengah menarik pungutan dari orang tua murid.
Dengan aturan yang baru ini, Koalisi memperkirakan pungutan akan semakin merajalela dan tidak terkendali terutama pada daerah yang melegalkan adanya pungutan. Hal ini terjadi karena tidak adanya kontrol (Komite Sekolah) pada SMA/SMK yang menarik pungutan. Bagi Koalisi, hilangnya fungsi kontrol Komite Sekolah akan mendorong pihak sekolah (SMA/SMK) semakin kreatif dan inovatif menarik pungutan dari orang tua murid.
“Kita minta Pemerintah merevisi Permendikbud No. 75Tahun agar Komite Sekolah benar-benar direvitalitasi yang fokuspada penguatan kewenangan Komite Sekolah dalam perencanaan, penganggaran, pengawasan kinerja, dan anggaran sekolah,” pintanya.