Koalisi Sebut Pengadilan HAM Kasus Paniai Hanya Pencitraan Pemerintahan Jokowi
Terbaru

Koalisi Sebut Pengadilan HAM Kasus Paniai Hanya Pencitraan Pemerintahan Jokowi

Koalisi menuntut majelis hakim dalam pemeriksaan perkara harus menggali unsur-unsur Pelanggaran HAM Berat sesuai dengan fakta serta mendalami keterlibatan para aktor pelaku yang terlibat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pengadilan Negeri Makassar telah menggelar sidang perdana pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Paniai yang teregister dalam nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks. Banyak pihak yang memantau proses persidangan itu termasuk koalisi masyarakat sipil, seperti KontraS, Koordinator Bersatu untuk Keadilan, Elsam Papua, Pendamping Korban, LBH Makassar, PBHI, dan Amnesty International.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyati, mengatakan dalam persidangan itu hanya ada 1 orang terdakwa yakni Isak Sattu yang saat peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai. “Koalisi menilai peristiwa Paniai yang terajdi 7-8 Desember 2014 lalu telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan lewat serangan yang bersifat sistematis atau meluas yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-POLRI,” kata Fatia ketika dikonfirmasi, Rabu (21/9/2022).

Baca Juga:

Fatia menyebut dengan unsur kebijakan negara dan pengerahan kekuatan yang berskala besar niscaya dapat terjadi dengan keterlibatan berbagai aktor, mulai dari pemegang komando teratas sampai pelaku lapangan terbawah. Dakwaan yang digunakan Kejaksaan Agung hanya menyasar satu orang terdakwa jelas menunjukkan wajah ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas peristiwa Paniai yang menewaskan setidaknya 4 orang dan 21 orang luka-luka.

“Bisa jadi, terdakwa IS hanya dijadikan ‘kambing hitam’ dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya gimmick sebagai bahan pencitraan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia,” tegasnya.

Koalisi masyarakat sipil menilai penuntasan kasus Paniai penting guna melihat sejauh mana tekad negara menghentikan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM di Papua. Fatia mengingatkan sejak awal proses penyidikan yang dirasa ganjil, pihak keluarga korban ragu persidangan pengadilan HAM kasus Paniai dapat memberikan keadilan. Apalagi saksi-saksi yang diperiksa jaksa bukan berasal dari saksi korban.

Menurut Fatia, penilaian tersebut diperkuat dengan pengalaman buruk proses pengadilan HAM yang pernah digelar sebelumnya seperti kasus Timor-Timur (1999), Tanjung Priok (1984), dan Abepura (2000). Setiap pelaku yang didakwa mendapat vonis bebas baik di pengadilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali. Koalisi berharap pengawasan persidangan pelanggaran HAM berat kasus Paniai dilakukan serius oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Fatia menjelaskan koalisi menuntut sejumlah hal terkait penuntasan kasus Paniai, antara lain mendesak Komisi Yudisial untuk melakukan supervisi terhadap Mahkamah Agung. Supervisi itu diperlukan untuk menjamin akses keterbukaan bagi publik utamanya para saksi, penyintas dan keluarga korban, dan juga jurnalis serta masyarakat sipil untuk bisa menghadiri persidangan sesuai prinsip keterbukaan yang diatur dalam Perma Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan.

Koalisi juga menuntut majelis hakim dalam pemeriksaan perkara harus menggali unsur-unsur Pelanggaran HAM Berat sesuai dengan fakta serta mendalami keterlibatan para aktor pelaku yang terlibat. “Seluruh proses pemeriksaan terdakwa dan saksi-saksi dilakukan secara langsung dengan tidak menggunakan mekanisme sidang secara daring/elektronik,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait