Koalisi Sudah Menduga Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Bakal Dituntut Minimal
Terbaru

Koalisi Sudah Menduga Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Bakal Dituntut Minimal

JPU menuntut terdakwa, Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu, dengan pidana selama 10 tahun.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Setelah ditunda sepekan, persidangan pengadilan HAM kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014 kembali digelar, Senin (14/11/2022) kemarin dengan agenda sidang pembacaan tuntutan. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan koalisi masyarakat sipil melihat pengadilan HAM peristiwa Paniai ini sekedar formalitas karena setiap prosesnya jauh dari keadilan. Apalagi pemeriksaan saksi, korban, dan saksi dari kalangan masyarakat sipil minim dilibatkan. Proses persidangan hanya menggunakan narasi yang dibangun TNI dan Polri.

“Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa, Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu, dengan pidana selama 10 tahun. JPU yakin Terdakwa bersalah atas kedua pasal yang dikenakan yakni kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan dengan penggunaan unsur rantai komando,” kata Fatia dikonfirmasi, Selasa (15/11/2022).

Dalam persidangan JPU berpendapat dakwaan telah terpenuhi secara keseluruhan dan terbukti secara hukum melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam dua dakwaan yakni Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37, UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena dakwaan kesatu telah terpenuhi, pihak penuntut umum menyebutkan jika terdakwa juga disebut memenuhi dakwaan kedua, karena dakwaan bersifat kumulatif yaitu sesuai Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Fatia berpendapat hukuman pidana 10 tahun merupakan hukuman pidana paling singkat bagi tiap pelaku yang memenuhi unsur Pasal 36 dan Pasal 40 UU No.26 Tahun 2000 atas jenis kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Meski JPU panjang lebar menguraikan tentang kronologis hingga bentuk-bentuk kesalahan terdakwa yang utamanya dianggap gagal berkoordinasi dengan pejabat yang punya kewenangan lebih tinggi guna mencegah peristiwa terjadi, JPU dengan sejumlah poin yang meringankan hanya menuntut terdakwa dengan ancaman pidana minimal.

Berhentinya penentuan pertanggungjawaban komando hanya ke individu dengan kedudukan jabatan tertinggi di lokasi pada waktu kejadian menurut Fatia menunjukkan kekeliruan JPU tidak mendalami pertalian peristiwa yang ketiga. Namun tidak kalah penting, adanya kebijakan negara melalui Polri dan TNI yang menetapkan Kabupaten Paniai sebagai salah satu zona rawan (zona merah) dari 11 wilayah di Papua. Penetapan daerah rawan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Operasi Aman Matoa V oleh Polda Papua yang diduga dilakukan dengan bantuan anggota Kodam TNI XVII/Cenderawasih, khususnya Timsus (Khusus tim) 753/AVT.

Mengutip hasil penyelidikan Komnas HAM, Fatia menyebut peristiwa kekerasan di Paniai pada 7-8 Desember 2014 tidak akan terjadi jika tidak ada Timsus 753/AVT dan kelengkapan pos dan infrastrukturnya yang membantu Operasi Aman Matoa V. Salah satu indikatornya sebagaimana disampaikan oleh beberapa saksi, bahwa akibat Paniai ditetapkan sebagai daerah rawan, maka dalam gudang senjata hanya ada peluru tajam, bukan peluru hampa atau karet.

“Dengan demikian, senjata yang dipegang aparat TNI di lokasi memang dimaksudkan untuk perang/pertahanan terhadap ancaman dari luar negara, bukan untuk memproses KKB (kelompok kriminal adalah ranah keamanan, bukan pertahanan) apalagi menghadapi masyarakat sipil tanpa senjata,” ujar Fatia.

Tags:

Berita Terkait