Koalisi Usul RUU EBET Fokus Pada Energi Terbarukan
Utama

Koalisi Usul RUU EBET Fokus Pada Energi Terbarukan

Dua hal berbeda, tapi kebijakan yang digulirkan pemerintah dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sama. Diusulkan agar dipisah menjadi dua RUU. Kedua jenis energi masa depan itu berbeda dalam banyak hal seperti risiko, dan teknologinya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dari kiri- ke kanan: Beyrra Triasdian, Grita Anindyarini, Deon Arinaldo, dan Hadi Priyanto dalam konferensi pers bertema 'Salah Arah RUU EBET', Senin (6/2/2023). Foto: Istimewa
Dari kiri- ke kanan: Beyrra Triasdian, Grita Anindyarini, Deon Arinaldo, dan Hadi Priyanto dalam konferensi pers bertema 'Salah Arah RUU EBET', Senin (6/2/2023). Foto: Istimewa

Pemerintah dan DPR terus membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Kalangan organisasi masyarakat sipil menyoroti RUU EBET menyamakan antara energi baru dan energi terbarukan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan pengertian sebagaimana diatur dalam draf RUU.

Program Manager Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan regulasi dan kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir untuk transisi energi dinilai tidak signifikan. Karenanya dibutuhkan payung kebijakan yang menunjukkan kesiapan Indonesia mendukung energi terbarukan.

Deon menilai energi terbarukan tergolong kompetitif dibandingnya energi fosil. Misalnya, dalam menghasilkan listrik yang dihasilkan PT PLN sebagian besar menggunakan bahan bakar fosil yakni minyak. Selain mahalnya harga bahan bakar minyak, pemerintah pun memberikan subsidi. Berbeda jika sumber yang digunakan adalah tenaga surya yang secara ekonomis lebih murah untuk menghasilkan listrik.

“Tapi masalahnya selama ini (untuk menggunakan energi terbarukan,-red) antara lain soal regulasi, misalnya terkait pengadaan,” ujarnya dalam konferensi pers bertema "Salah Arah RUU EBET", Senin (6/2/2023).

Baca Juga:

Baginya, agar serius melakukan transisi energi setidaknya ada 3 hal yang harus dipastikan pemerintah. Pertama, kesiapan energi pengganti. Kedua, energi yang akan diganti sudah mencapai titik puncak. Ketiga, dalam melakukan transisi energi harus dipastikan keandalan energi yang digunakan untuk memastikan Indonesia bisa terus bertumbuh.

“Sayangnya indikator kesiapan transisi energi itu belum terlihat,” bebernya.

Menurut Deon, RUU EBET didasari oleh dorongan politik. Dia melihat pemerintah salah arah karena tidak membedakan antara energi baru dan energi terbarukan dalam RUU EBET. Padahal, energi baru dan energi terbarukan memiliki perbedaan. Menurutnya, bila keduanya  digabung, maka energi baru akan relatif menjadi pilihan praktis pemerintah ketimbang energi terbarukan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait