Pro kontra pendaftaran merek sempat terjadi beberapa waktu lalu saat “Citayam Fashion Week” akan didaftarkan ke DJKI Kemkumham. Kehebohan tersebut menjadi pengingat bahwa etika merupakan faktor penting dalam pengakuan suatu kekayaan intelektual. Publik menganggap tidak etis jika seseorang atau institusi tertentu mengakui atau mendaftarkan suatu kekayaan intelektual yang bukan berasal dari buah pikirnya.
Berkaitan dengan itu, beberapa kata yang umum dan banyak digunakan oleh publik, dengan iktikad tidak baik, ternyata telah didaftarkan dan menjadi bukan milik publik lagi. Salah satu contohnya adalah kata "open mic". Sehingga, masyarakat tidak lagi punya keleluasaan untuk menggunakan kata tersebut.
Meningkatnya kesadaran terhadap pengakuan suatu kekayaan intelektual itu pula yang kemudian memicu sejumlah komika yang tergabung dalam Perkumpulan Stand Up Indonesia
berkumpul di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada hari Kamis (25/8). Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Stand Up Indonesia Adjis Doaibu dalam keterangan resminya, Kamis (25/8).
Baca Juga:
- PP 24/2022, “Angin Segar” Industri Ekonomi Kreatif Dapatkan Pembiayaan
- Sistem First to File, Siapapun Bisa Daftarkan Merek ke DJKI
“Hari ini, saya mewakili teman-teman komika se-Indonesia mendaftarkan gugatan pembatalan merek ‘Open Mic Indonesia’ yang telah mendapatkan sertifikat merek dari Ditjen Kekayaan Intelektual. Ini terpaksa kami lakukan karena istilah ‘open mic’ yang jelas-jelas istilah umum dalam dunia hiburan, telah dibajak dan dimonopoli oleh satu pihak saja dan kemudian menyebar somasi melarang pihak-pihak lain menyelenggarakan acara yang bertajuk ‘Open Mic’. Ini bukan saja lawakan yang sangat tidak lucu, tapi juga sangat mengganggu dan meresahkan para komika, penyelenggara acara, serta pemilik kafe dan restoran.”, kata Adjis.
Adjis menyampaikan bahwa gugatan ini bertujuan untuk mengembalikan merek ‘open mic’ menjadi milik publik. Untuk upaya hukum gugatan pembatalan merek “Open Mic Indonesia” ini, Perkumpulan Stand Up Indonesia menunjuk Panji Prasetyo sebagai kuasa hukumnya.
Menurut Panji pendaftaran merek ‘Open Mic Indonesia’ telah melanggar pasal 20 huruf a dan pasal 21 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek. Pendaftaran merek tersebut dinilai didasarkan pada iktikad buruk dan telah mengganggu ketertiban umum.
“karenanya kami meminta pengadilan untuk membatalkan merek tersebut.”, tutur Panji Prasetyo.
Adapun pihak yang digugat oleh Perkumpulan Stand Up Indonesia adalah Ramon Papana selaku pemilik merek “Open Mic Indonesia”, sebagai Tergugat dan Direktorat Merek Ditjen Kekayaan Intelektual sebagai Turut Tergugat.
Di antara para komika yang hadir di Pengadilan Niaga, tampak beberapa komika ternama seperti Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono dan Bintang Emon. Mereka kompak mendukung gugatan pembatalan merek ini.
“Ini gila, sih! Absurd. Kalau sekarang ‘Open Mic’ boleh jadi merek, bisa jadi nanti ada yang daftarin merek ‘Majelis Taklim’ deh, terus abis itu disomasiin semua masjid yang bikin acara pakai nama Majelis Taklim, harus bayar ke dia.”, canda Bintang Emon.
“Ada problem serius ketika negara seperti melindungi pihak yang mencoba mendulang keuntungan dengan cara yang tidak fair. Ini jelas harus dilawan.”, timpal Pandji Pragiwaksono.
“Ini bukan hanya solidaritas para komika melawan ketidakadilan. Ini adalah gerakan moral untuk tidak menormalisasi hal-hal yang tidak normal dan bertentangan dengan akal sehat.”, imbuh Ernest Prakasa.
Setelah gugatan pembatalan merek ini didaftarkan, berdasarkan UU Merek, Pengadilan Niaga mempunyai waktu 90 hari untuk memeriksa dan memutus gugatan tersebut. Seiring dengan itu, teman-teman komika akan terus mengawal proses ini serta mengumandangkan tagar #OpenMicMilikPublik di media sosial.
Sebelumnya praktisi kekayaan intelektual Suyud Margono menyampaikan bahwa perihal lain yang tidak kalah penting dalam pendaftaran merek adalah ketentuan penggunaan kata umum/generik dari suatu merek. Dalam praktek banyak pemohon merek menggunakan unsur-unsur kata umum atau kalimat yang hampir serupa antara merek yang satu dengan merek yang lain.
“Sesuai dengan pasal 20 huruf f UU Merek, berbunyi bahwa Merek tidak dapat didaftar jika merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum. Artinya, penggunaan kata umum, yang dijadikan sebagai suatu merek dagang atau merek jasa, tidak dapat terdaftar sebagai merek dagang atau merek jasa. Akibat hukum dari terdaftarnya kata umum sebagai merek adalah timbul hak monopoli bagi pemiliki merek karena merek terdaftar bersifat eksklusif. Artinya, hak eksklusif ini memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemilik merek, untuk melarang pihak lain menggunakannya tanpa izin dari pemilik merek,” jelasnya.
Itulah sebabnya penggunaan kata umum semestinya tidak dapat diterima pendaftarannya dan dijadikan sebagai merek karena menimbulkan rasa tidak adil apabila memberikan monopoli sesuatu yang merupakan milik umum.