Komisi Yudisial Kritisi Pasal Pidana Proses Persidangan dalam RKUHP
Utama

Komisi Yudisial Kritisi Pasal Pidana Proses Persidangan dalam RKUHP

Pasal 278 huruf a, b, dan c; dan Pasal 279 ayat (1) dan (2) draf RKUHP terbaru terkait tindak pidana dalam proses persidangan, mulai tata tertib persidangan, sikap tidak hormat, menyerang kehormatan hakim, integritas hakim, hingga kegaduhan di ruang sidang.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY, Binziad Kadafi dalam Press Conference Masukan Komisi Yudisial terhadap RUU KUHP, Senin (14/11/2022). Foto: FKF
Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY, Binziad Kadafi dalam Press Conference Masukan Komisi Yudisial terhadap RUU KUHP, Senin (14/11/2022). Foto: FKF

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergulir. Belum lama ini, pada Rabu (9/11/2022) kemarin, pemerintah resmi menyampaikan draf RKUHP terbaru kepada Komisi III DPR. Draf tersebut adalah hasil dari masukan dan aspirasi masyarakat yang diserap melalui berbagai dialog publik dan sosialisasi di 11 kota. Atas draf RKUHP versi tertanggal 9 November 2022 itu, Komisi Yudisial (KY) menyampaikan sejumlah pandangan dan masukannya.

“Perlu saya tekankan, masukan KY ini berhubungan dengan wewenang konstitusional KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat perilaku hakim. Khususnya pada tugas yang diamanatkan UU KY dan UU di Bidang Peradilan,” ujar Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY, Binziad Kadafi, dalam Press Conference Masukan Komisi Yudisial terhadap RUU KUHP, Senin (14/11/2022).

Setidaknya terdapat dua pasal dalam RKUHP yang menjadi sorotan oleh KY yakni Pasal 278 dan Pasal 279 pada draf RKUHP terbaru. “KY mengkritisi dan memberi masukan terhadap Pasal 280 di draf RKUHP lama, kalau di draf baru itu Pasal 278. Dan pasal 281 di draf lama, kalau di draf 9 November itu Pasal 279,” kata Binziad.

Baca Juga:

Ia menuturkan Pasal 278 huruf a draf RKUHP 9 November 2022 itu, KY mengkritisi penggunaan terminologi “pengadilan” dalam ketentuan pasal itu yang cenderung diartikan sebagai Ketua Pengadilan sebagai pejabat birokrasi di pengadilan. Padahal, yang hendak diatur dari ketentuan tersebut ialah saat persidangan berlangsung dengan pemegang otoritas tertingginya adalah hakim ketua sidang sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Selain itu, terminologi “kepentingan proses peradilan” yang dipergunakan menurut KY harus terlebih dahulu ditentukan ruang lingkupnya dengan maksud agar tidak kabur dan subjektif. Dalam hal ini, KY beranggapan tata tertib persidangan sebagaimana dikenal dalam KUHAP perlu dimuat sebagai kriteria. Dengan catatan, kontekstualisasi tentang siapa yang seharusnya menerbitkan tata tertib persidangan perlu diperjelas.

“Sebab dalam KUHAP itu yang diatur bahwa tata tertib persidangan merupakan kewenangan dari Menteri Kehakiman (Menkumham, red). Tentu kita tahu, mulai dari awal tahun 2005 atau 2006, sudah terjadi penyatuan atap, sehingga tidak ada lagi urusan terkait penyelenggaraan peradilan yang menjadi tanggung jawab atau kewenangan Menteri Kehakiman, maka ketentuan ini seharusnya sudah dimaknai atau dialihkan kepada MA. Soal dasar hukum atau produk hukum yang mengatur tata tertib persidangan itu apa? Tentu kami serahkan ke MA.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait