Komite PBB Perlu Tagih Komitmen Pemerintah Indonesia Soal Perlindungan Buruh Migran
Berita

Komite PBB Perlu Tagih Komitmen Pemerintah Indonesia Soal Perlindungan Buruh Migran

Implementasi UU No.6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya masih minim.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Buruh memanfaatkan layanan untuk TKI. Foto: SGP
Buruh memanfaatkan layanan untuk TKI. Foto: SGP
Indonesia telah menjadi negara pihak setelah meratifikasi Konvensi PBB tentang Buruh Migran melalui UU No.6 Tahun 2012. Salah satu kewajiban negara pihak yaitu melaporkan pelaksanaan konvensi itu kepada Komite PBB untuk Buruh Migran setiap 4 tahun sekali. Program Manager HRWG, Daniel Awigra, melihat pemerintah telah mengirimkan laporan itu pada April 2017. Setelah itu pemerintah Indonesia dijadwalkan mengikuti sidang Komite PBB untuk Buruh Migran pada 4-6 September 2016 di Jenewa, Swiss.

Pria yang disapa Awi itu mengatakan organisasi masyarakat sipil dan lembaga pemerintah independen seperti Komnas HAM di Indonesia diberi kesempatan juga untuk memberi laporan serupa kepada Komite PBB. Menurutnya, sejumlah organisasi seperti HRWG, Jaringan Buruh Migran (JBM) dan SBMI, telah melayangkan laporan tersebut. Selain itu organisasi masyarakat sipil akan mengirim perwakilan untuk melobi anggota Komite agar mengusung sejumlah isu yang penting bagi buruh migran Indonesia.

Awi mengatakan, salah satu isu yang dilaporkan organisasi masyarakat sipil mengenai minimnya implementasi UU No.6 Tahun 2012 yang merupakan ratifikasi konvensi PBB tentang Buruh Migran. “Kami harap laporan itu diterima dan digunakan Komite PBB untuk melayangkan pertanyaan kepada pemerintah Indonesia, diharapkan ke depan kebijakan terkait buruh migran sejalan dengan amanat konvensi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (31/8).

Senior Advisor HRWG, Yuyun Wahyuningrum, mengatakan Komite PBB perlu mendorong pemerintah Indonesia untuk mengharmonisasi UU No.6 Tahun 2012 dengan revisi UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Dalam proses revisi itu masih terlihat dominasi peran PPTKIS/PJTKI dalam merekrut buruh migran tanpa standar yang jelas. “Intinya kami mau pemerintah Indonesia menerapkan standar universal dalam tata kelola buruh migran sebagaimana amanat konvensi,” ujarnya.

Sekjen SBMI, Bobbi Anwar Maarif, menghitung dalam konvensi ada 27 hak buruh migran salah satunya hak atas kebebasan bagi setiap buruh migran dan anggota keluarganya untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun. Namun pemenuhan hak tersebut sangat terbatas baik dalam UU PPTKILN dan draft revisinya. Misalnya, penempatan buruh migran tidak melalui PJTKI/PPTKIS dianggap ‘ilegal.’ Padahal ada mekanisme lain yang bisa dipilih buruh migran seperti mandiri dan penempatan melalui perjanjian antar negara.

Bobbi juga menyoroti soal MoU Indonesia dengan negara penempatan yang jumlahnya sangat sedikit dan tidak memadai untuk melindungi buruh migran. Padahal, MoU itu harus ada di setiap negara penempatan sebagaimana mandat UU PPTKILN. Namun praktiknya dari 60 negara penempatan hanya 12 negara yang sudah punya MoU dengan Indonesia. “Dari 12 negara itu sebagian MoU belum diperpanjang, tapi penempatan terus berjalan,” urainya.

(Baca Juga: Indonesia-Filipina Bahas Instrumen Perlindungan Buruh Migran)

Kemudian, masalah sengketa yang dialami buruh migran baik dengan PJTKI/PPTKIS atau majikan, mekanisme penyelesaian yang ada menurut Bobbi hanya tersedia di BNP2TKI pusat. Hal ini menyulitkan buruh migran yang ada di daerah karena harus bertandang ke Jakarta untuk melaporkan perselisihan yang menimpanya. Akibatnya, banyak perkara yang tidak dilaporkan buruh migran.

Menurut Bobbi Komite PBB perlu mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO No.188 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan. Hal itu penting mengingat banyak buruh migran Indonesia yang bekerja di industri perikanan tangkap yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 250 ribu orang. Selain jam kerja yang sangat panjang melebihi 12 jam, buruh migran di sektor tersebut rawan terjebak dalam praktik perbudakan.

Walau begitu Bobbi melihat ada perkembangan baik dalam revisi UU PPTKILN yakni kewenangan melakukan pelatihan kepada calon buruh migran tidak lagi dilakukan oleh PJTKI/PPTKIS tapi lembaga pelatihan yang dikelola pemerintah atau swasta.

(Baca Juga: 7 Isu RUU PPILN yang Disepakati Pemerintah-DPR)

Ketua Umum SBMI, Hariyanto, menilai penanganan kasus yang menimpa buruh migran melalui mekanisme yang tersedia selama ini tidak efektif. Dari 1.500 kasus yang selama ini ditangani SBMI hanya 30 persen yang selesai. Salah satu penyebabnya yakni pihak mediator di BNP2TKI kurang memiliki perspektif yang melindungi buruh migran dan birokrasi penyelesaian kasus  sangat panjang.

“Tidak ada batas waktu penyelesaian perselisihan yang dialami buruh migran, akibatnya persoalan tak kunjung tuntas dan berlarut,” urainya.

Sekretariat Nasional (Seknas) JBM, Savitri Wisnuwardhani, melihat sejak konvensi PBB itu diratifikasi dari tahun 2012 sampai hari ini belum banyak peraturan turunan yang diterbitkan pemerintah. Menurutnya, salah satu amanat konvensi yang paling utama yakni perlindungan terhadap seluruh buruh migran tanpa diskriminasi baik yang berdokumen lengkap atau tidak.

Dalam merevisi UU PPTKILN pemerintah dan DPR juga tidak melakukan sinkronisasi terhadap UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal tersebut penting untuk melindungi buruh migran karena rentan terjerat sindikat perdagangan orang.“Padahal dalam UU TPPO sangat jelas, pelaku yang bisa dijerat bukan hanya individu tapi juga perusahaan (korporasi),” papar Savitri.

Selain itu, Savitri mengingatkan ada 9 kewajiban negara pengirim buruh migran di antaranya memberi informasi tentang tata cara migrasi yang aman, dan koordinasi dengan negara penempatan untuk memperhatikan anak-anak buruh migran. Kemudian pelayanan konsuler sekaligus pemberian informasi mengenai peraturan yang berlaku di negara penampatan dan pemulangan jenazah. Sayangnya, kewajiban yang telah diatur dalam konvensi itu belum dilaksanakan pemerintah.

(Baca Juga: Ditunggu, Instrumen Buruh Migran Perlindungan ASEAN)

Advokat publik LBH Jakarta, Eni Rofiatul, berpendapat selama ini buruh migran tidak punya sistem penyelesaian perselisihan melalui ranah pengadilan selain mekanisme perdata. Harusnya buruh migran punya sistem penyelesaian perselisihan sejenis Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau pengadilan pajak sehingga masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dalam waktu relatif cepat dan memenuhi rasa keadilan.

“Harusnya revisi UU PPTKILN yang saat ini masih dibahas pemerintah dan DPR mengatur soal mekanisme penyelesaian perselisihan itu,” usulnya.
Tags:

Berita Terkait