Komnas HAM Ingatkan Pentingnya Ratifikasi Konvensi ILO 189
Terbaru

Komnas HAM Ingatkan Pentingnya Ratifikasi Konvensi ILO 189

Guna melindungi, menghargai, dan memenuhi hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) agar setara dengan pekerja/buruh lainnya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: Istimewa
Gedung Komnas HAM. Foto: Istimewa

Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dinilai masih belum memadai. Adapun RUU Perlindungan PRT telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024 sebagai RUU inisiatif DPR, tapi sampai sekarang pembahasan RUU PPRT di DPR mandek.

Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengingatkan pentingnya pemerintah dan DPR untuk meratifikasi Konvensi ILO No.189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT. Konvensi itu penting sebagai acuan pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU PPRT.

“Konvensi ILO No.189 sebagai meta norma, memberikan kerangka acuan dan standar minimal terhadap kebijakan nasional terkait perlindungan PRT yang akan dibentuk,” kata Sandra dikonfirmasi, Senin (26/9/2022).

Sandra menjelaskan lembaganya telah melakukan pengkajian terhadap ratifikasi konvensi ILO No.189. Pengkajian itu dilakukan mengingat rumitnya persoalan yang dihadapi PRT dan dinamika hukum yang berkembang terkait perlindungan hak-hak PRT di Indonesia. Hasilnya, Konvensi ILO No.189 relevan dan urgen untuk diratifikasi pemerintah.

Menurut Sandra, posisi PRT jelas dan tegas sebagai pekerja. Fakta tersebut berdasarkan hubungan kerja antara pemberi kerja dengan PRT. Hubungan kerja itu dapat dilihat dari unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sayangnya, hingga saat ini PRT belum diakui statusnya sebagai pekerja. Dampaknya, mereka tidak mendapatkan pelindungan hukum dan HAM yang setara dengan pekerja/buruh lain.

Sandra mencatat dasar hukum yang berlaku saat ini hanya Permenaker tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Beleid itu dirasa belum mampu memberikan pelindungan hukum dan pemenuhan hak yang layak bagi PRT. Selain itu, upaya membentuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah dimulai sejak tahun 2000 tidak kunjung disahkan.

Minimnya perlindungan membuat PRT menjadi pekerjaan yang rentan mendapatkan eksploitasi dan permasalahan dari segi upah/gaji yang tidak layak. Kemudian, tidak adanya ruang representasi yang setara untuk advokasi, kondisi kerja yang tidak layak, bahkan rentan mengalami kekerasan hingga tindak pidana lainnya.

Tags:

Berita Terkait