Komnas Perempuan Desak Penanganan Kekerasan Seksual di Aceh Gunakan UU TPKS
Terbaru

Komnas Perempuan Desak Penanganan Kekerasan Seksual di Aceh Gunakan UU TPKS

Untuk penanganan kasus secara komprehensif dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Padang Tiji, Pidie, Aceh, mendapat sorotan Komnas Perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengapresiasi jajaran Polres Pidie yang melakukan proses hukum terhadap BT (48) sebagai tersangka kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah ibu muda.

Dari informasi yang diperoleh Andy menyebut kekerasan seksual yang dilakukan BT ini dikenali dengan sebutan “pesulap hijau” karena pelaku menggunakan jubah dan peci berwarna hijau saat melakukan kekerasan seksual. Pelaku melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan/atau persetubuhan dengan modus pengobatan alternatif, terhadap ibu rumah tangga muda yang sedang ditinggal merantau suaminya.

“Untuk kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual agar dapat mengakses kebenaran, keadilan dan pemulihan, Komnas Perempuan berpendapat proses hukum pada kasus ini dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya di Aceh perlu mengacu pada UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Andy saat dikonfirmasi, Senin (14/11/2022).

BT dijerat dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat yaitu pasal Jarimah Pemerkosaan yang diatur Pasal 48 junto Pasal 52 tentang alat bukti sumpah yang dilakukan korban. Menurut Andy, dalam kasus ini memuat unsur-unsur tindak kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual, sebagaimana diatur pada Pasal 12 UU TPKS.

Menurut Andy, BT telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan para ibu rumah tangga yang mempercayai BT mampu menyembuhkan sakitnya untuk mendapatkan keuntungan keinginan seksualnya. “Ancaman pidana eksploitasi seksual adalah 15 tahun penjara atau denda sebesar 1 miliar rupiah,” ujar Andy.

UU TPKS, mengatur hak bagi korban untuk mendapatkan pelindungan dan pemulihan sejak pelaporan dilakukan sampai pasca persidangan. Hak korban itu meliputi kerahasiaan identitas, pelindungan dari sikap yang merendahkan dirinya, bantuan hukum layanan kesehatan fisik dan psikis, restitusi dan kompensasi serta dukungan untuk pemberdayaan dan reintegrasi sosial.

“Pemenuhan hak korban merupakan tanggung jawab dari pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah dan dapat melakukan koordinasi lintas sektor dan wilayah untuk memastikan layanan komprehensif berkualitas,” ujar Andy.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait