Konflik Pertanahan Itu Emosional dan Menguras Emosi
Berita

Konflik Pertanahan Itu Emosional dan Menguras Emosi

Tumpang tindih klaim kepemilihan lahan di kawasan hutan melibatkan masyarakat non-adat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi lahan yang diperebutkan. Foto: MYS
Ilustrasi lahan yang diperebutkan. Foto: MYS

Selama puluhan tahun, Indonesia terus menghadapi salah satu problem yang sulit diselesaikan, yakni konflik pertanahan. Tak hanya memperebutkan status hak milik atas suatu lahan, tetapi juga persoalan pengakuan tanah masyarakat adat. Sengketa pertanahan bergulir dari satu forum ke forum lain, mulai dari pengadilan negeri hingga ke Mahkamah Konstitusi. Toh, sengketa pertanahan terus berulang.

Pada awal Mei 2019, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) melansir data. Ada 8.959 sengketa pertanahan yang masuk ke BPN. Lebih dari separuh (56 persen) dari kasus itu adalah sengketa antar anggota masyarakat, sengketa batas antara tetangga dengan tetangga. Sebanyak 15 persen adalah sengketa orang perorangan dengan badan hukum dan antara masyarakat dengan badan hukum, termasuk mengenai Hak Guna Usaha (HGU). Ada juga sengketa antarbadan hukum.

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2018, misalnya, memperlihatkan kasus tanah mendominasi perkara kasasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; 341 perkara, jauh melebihi perkara di urutan kedua, yakni 103 perkara kepegawaian. Gambaran yang serupa dapat dilihat pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), 124 perkara pertanahan, disusul 31 perkara kepegawaian. Di lingkungan perdata, sengketa yang berobjek tanah pun sangat beragam. Objek sengketa (929 beban perkara) tanah menempati urutan ketiga perkara perdata terbanyak di lingkungan pengadilan tinggi setelah perbuatan melawan hukum (4.369) dan wanprestasi (1.141).

Itu sebabnya, peneliti Van Vollenhoven Institute, Santy Utami Kouwagam, mengatakan bahwa konflik pertanahan di Indonesia emosional dan menguras energi (dana, waktu, sumber daya manusia). Beragam cara dilakukan untuk memperoleh hasil terbaik, yakni memperoleh sertifikat atas tanah yang menjadi objek sengketa. Menyewa pengacara terbaik, melakukan pendekatan kepada para pengambil keputusan di Kantor Pertanahan merupakan sebagian dari upaya yang dilakukan para pihak. “Winning is everything,” ujarnya dalam webinar ‘Resolving Land Conflict in Indonesia: Between Adat and Development’, Selasa (7/12) lalu.

Santy pernah melakukan penelitian mengenai bagaimana cara lawyers Indonesia memenangkan kliennya dalam sengketa pertanahanan. Dari penelitian itu Santy menemukan konsep ‘keluarga’ yang dibangun lawyers ketika melakukan negosiasi dalam kasus-kasus pertanahan.

(Baca juga: Santy Kouwagam, Leiden, dan Tiga Kategori Lawyers Indonesia).

Salah satu problem yang terus mendapat perhatian adalah pengakuan negara atas tanah (masyarakat) adat. William van de Muur, World Bank Land Tenure Specialist mengatakan konflik pertanahan tak lepas dari dilema antara hukum adat dan hukum nasional yang sudah berkembang sejak dahulu. Setelah Indonesia merdeka, ada pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) fokus pada pengakuan hak-hak indidual, dan hukum adat diakui sepanjang masih ada. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Selain itu dipersyaratkan pula sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Dari sinilah kemudian muncul gagasan RUU Masyarakat Hukum Adat.

Tags:

Berita Terkait