Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan

​​​​​​​Dalam situasi tertentu, pengadilan bisa memutuskan untuk memberikan bagian harta bersama lebih besar kepada istri ketimbang suami.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masig sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 UU Perkawinan).

Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama akan dibagi dua sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal 97 KHI). Tentunya jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian itu.

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”. Lalu, dijelaskan Hilman (hlm. 193), bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. Dalam hal yang demikian, perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).

Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.

Pada dasarnya persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti bila harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita). Dan kemudian disebutkan dalam tentang permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Putusan pengadilan atas perceraian tersebut akan memuat pembagian harta.

Bagaimana jika dilakukan perjanjian perkawinan yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut? Maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah awamnya “harta gono gini”.

Baik KUHPer maupun UU Perkawinan sudah mengatur pembagian harta bersama dimana harta dibagi dengan besaran yang sama atau 50:50 persen. Tetapi nyatanya aturan ini tidak menjadi patokan kaku bagi hakim yang menangani kasus perceraian dengan kasus harta bersama atau tidak dipisahkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait