Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan

​​​​​​​Dalam situasi tertentu, pengadilan bisa memutuskan untuk memberikan bagian harta bersama lebih besar kepada istri ketimbang suami.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Salah satu asas yang dianut dalam UU Perkawinan adalah asas ekualitas bagi suami isteri. Dengan asas ini berarti suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Suami mempunyai kewajiban antara lain memberikan nafkah. Pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak.’

Pemahaman bahwa harta bersama dibagi dua masing-masing mendapat bagian juga disebut dalam literatur, meskipun cenderung diserahkan kepada hukum adat (lihat misalnya M. Yahya Harahap [2007: 45]). Bisa jadi, pandangan ini sejalan pula dengan Pasal 96 KHI dan Pasal 37 UU Perkawinan.

Namun, jika isteri bisa membuktikan di pengadilan telah memberikan tanggung jawab lebih, termasuk membiayai rumah tangga, sangat mungkin pembagiannya lain. Jadi, keadilan dalam konteks ini sangat ditentukan oleh majelis hakim. Pengadilan berwenang menentukan porsi isteri yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada suami dalam pembagian harta bersama.

Jadi, aparat penegak hukum sebaiknya sudah harus berhati-hati dalam pembagian harta bersama apalagi dalam beberapa kasus, suami tidak berpartisipasi signifikan dalam perekonomian keluarga. Hakim agung Abdul Manan (2006: 129) mengingatkan masalah ini: ‘sebaiknya para praktisi hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan’. Ia meminta agar hakim mengambil sikap ‘lentur’ agar keadilan tercapai.

Salah satu contoh kasus semacam ini termuat dalam putusan MA No. 266K/AG/2010. Dalam putusan ini, majelis hakim memberikan ¾ bagian kepada isteri, dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah: berdasarkan bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah Penggugat (isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan.

Kewenangan hakim bukan hanya menentukan proporsionalitas pembagian harta bersama, tetapi juga memutuskan kemungkinan suami membayar nafkah isteri dan anak-anak pasca perceraian. Putusan MA No. 78 K/AG/2001 menentukan jika terjadi perceraian, maka suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah.

Bahkan dalam putusan No. 24K/AG/2003, MA menghukum suami untuk membayar ‘nafkah lampau’ kepada isteri. Majelis hakim yang memutus perkara merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Perkawinan. Majelis menyatakan ‘kelalaian suami memberikan nafkah kepada isterinya pada masa lampau, karena sudah terbukti di persidangan, maka pihak suami wajib memberikan uang nafkah lampau’.

Tags:

Berita Terkait