Konsekuensi Kawin Campur Butuh Tafsir MK
Berita

Konsekuensi Kawin Campur Butuh Tafsir MK

Selain sulit miliki HM atau HGB, perkawinan campur memiliki beberapa implikasi lain.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Konsekuensi Kawin Campur Butuh Tafsir MK
Hukumonline
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai konsekuensi atau akibat hukum perkawinan campuran menyangkut harta bersama butuh penafsiran konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, persoalan sulitnya pelaku kawin campur(WNI) memiliki rumah/properti berstatus Hak Milik (MH) atau Hak Guna Bangunan (HGB) menyangkut jaminan memperoleh hak milik pribadi dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Yusril berpendapat pengujian UU Agraria dan UU Perkawinan ini bukan persoalan adanya larangan pelaku kawin campur memperoleh HM atau HGB atas tanah dan bangunan. “Ini persoalan tafsir sistematis pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan menyangkut akibat hukum perkawinan campuran,” ujar Yusril saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal kedua UU itu di ruang sidang MK, Kamis (27/8).

Ditegaskan Yusril, penafsiran konstitusional akibat hukum perkawinan campuran ini diperlukan. Terutama tafsir tentang bagaimana memaknai Pasal 21 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dihubungkan Pasal 29 ayat (1) dan (4), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait larangan kepemilikan HM atau HGB oleh WNA serta perjanjian kawin dan harta bersama dihubungkan konstitusi saat ini. Lahirnya kedua UU itu, kata dia, masih menggunakan nuansa UUD 1945 yang lama.   

Menurut Yusril, MK bisa memberi tafsir inkonstitusional bersyarat yang lazim dalam putusan MK selama ini. “Tentunya, MK sangat bijak untuk bisa menafsirkan norma dalam kedua UU itu,” tegas ahli yang dihadirkan pemohon, Ike Farida.    

Yusril memberi gambaran, penafsiran ketentuan itu bisa saja dimaknai WNA berhak atas harta bersama termasuk rumah berstatus HM atau HGB. Namun, kepemilikan HM atau HGB ini  bukan dalam arti yuridis (kepemilikan semu). Kepemilikan HM atau HGB itu harus dialihkan dalam jangka waktu setahun ketika terjadi perceraian atau WNA menjadi satu-satu ahli waris ketika pasangannya meninggal sesuai Pasal 21 ayat (3) UU Pokok Agraria.       

“Setelah itu, dia (WNA) melepaskan/mengalihkan HM atau HGB itu dengan menjual, menghibahkan dalam jangka waktu satu tahun. Jika lewat setahun tidak dialihkan, HM atau HGB itu menjadi tanah negara,” ujar Yusril yang juga beristrikan warga negara Filipina ini.    

“Jadi, penafsiran ini sebenarnya tidak akan dijadikan ‘akal-akalan’ WNA untuk menguasai aset-aset tanah Indonesia melalui kawin campur,” tegas Yusril saat menjawab kekhawatiran Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memandang prinsip larangan WNA menjadi pemegang HM atau HGB semata-mata demi melindungi aset Indonesia.          

Mantan Menteri Kehakiman dan Perundang-Undangan itu mengakui faktanya selama ini biro hukum pengembang (developer) pandangannya seragam ketika menafsirkan Pasal 21 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dihubungkan Pasal 29 ayat (1) dan (4), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan dalih, WNI pelaku kawin campur tidak boleh memiliki HM atau HGB karena suami/istrinya yang WNA dilarang memiliki rumah berstatus HM dan HGB yang bisa menjadi harta bersama.    

“Harta bersama ditafsirkan setengahnya milik WNA, sementara WNA tidak boleh memiliki HM atau HGB, sehingga pengembang seringkali meminta perjanjian kawin (pemisahan harta, red),” ungkap ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Implikasi
Ahli pemohon lain, Dosen Hukum Perkawinan FHUI, Neng Djubaedah menjelaskan akibat hukum kawin campur secara faktual memiliki beberapa implikasi lain ketika terjadi perceraian yang dilakukan di bawah tangan, bukan melalui pengadilan. Belum lagi, ketika perkawinan campuran ini belum dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil karena belum memenuhi syarat sesuai UU Perkawinan berimplikasi pada status pengakuan anak yang dilahirkan.     

Sesuai Pasal 49 UU No. 24 Tahun 2013tentang Administrasi Kependudukan, pengakuan anak yang dilahirkan harus dilaporkan orang tuanya ketika perkawinan (campuran, red) belum dianggap sah menurut hukum negara, meski perkawinan dianggap sah menurut agama. “Ini artinya dianggap tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya (WNA, red).”

“Belum lagi kalau anaknya perempuan (Islam), siapa yang akan menjadi wali nikahnya (ketika ayahnya berbeda agama, red)? Akibat hukum kawin campur bagi WNI sulit memiliki rumah yang berdampak kewarisan (Islam, perdata barat, adat) pada anaknya yang pengaturannya berbeda-beda. Apalagi, kalau anaknya menyandang dwi kewarganegaraan. Ini dampaknya bisa kemana-mana,” kata Neng.  

Ditambahkan Neng, harta bersama kalau tidak diperjanjikan pemisahan harta sebelum perkawinan, semua harta akan menyatu. Berbeda, dengan harta bawaan yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan, seperti warisan, wasiat, hibah baik sebelum maupun sesudah pernikahan. “Harta bersama merupakan usaha yang diperoleh suami atau istri atau keduanya selama perkawinan,” katanya.          

Ike Farida memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI, serta Pasal 29 ayat (1) dan (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama. Penyebabnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun WNI mempunyai HM (dalam perkawinan campuran) “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Pemohon menganggap siapapun WNI yang menikahi WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta,  ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun.

Menurut pemohon, pasal-pasal dianggap diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemohon meminta penafsiran pasal-pasal itu. Dan kini, upayanya mendapat dukungan dari Pemerintah.
Tags:

Berita Terkait