Konsep Pluralisme dalam Hukum Pertanahan
Terbaru

Konsep Pluralisme dalam Hukum Pertanahan

Pluralisme hukum pertanahan di Indonesia meliputi hukum adat sebagai hukum positif tidak tertulis dan hukum adat sebagai sumber pembangunan hukum agrarian nasional.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Kurnia Warman saat acara peluncuran buku dan talkshow memperingati Milad ke-80 Tahun Prof Maria SW Sumardjono, Sabtu (27/5/2023). Foto: ADY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Kurnia Warman saat acara peluncuran buku dan talkshow memperingati Milad ke-80 Tahun Prof Maria SW Sumardjono, Sabtu (27/5/2023). Foto: ADY

Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Hukum adat yang berkembang di setiap daerah juga beragam yang berkaitan bidang pertanahan dan agraria. Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Kurnia Warman mengatakan tidak mudah menjelaskan tentang pluralisme hukum pertanahan. Namun demikian tugas sarjana hukum adalah menyederhanakan kerumitan.

Kurnia menyebutkan hukum pertanahan di Indonesia sangat plural. Ajaran pluralisme hukum muncul sejak ada negara. Sebelum terbentuk negara pluralisme itu tidak ada karena masing-masing masyarakat hidup dengan hukum adatnya. Munculnya negara mendorong terbentuknya konsep pluralisme hukum bahwa dalam membentuk hukum negara jangan sampai mengabaikan keberagaman.

“Ketika Indonesia berhasil membuat UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria itu dihasilkan bukan dari proses yang sederhana,” kata Prof Kurnia Warman saat acara peluncuran buku dan talkshow memperingati Milad ke-80 Tahun Prof Maria SW Sumardjono, Sabtu (27/5/2023).

Baca Juga:

Kurnia berpendapat Indonesia sulit menyatukan paham pluralisme hukum dan membentuk hukum negara. Sebabnya, antara lain dipengaruhi oleh 2 kelompok sarjana hukum yang menulis tentang pluralisme hukum adat dan pertanahan di Indonesia. Kelompok pertama para sarjana barat menulis hukum adat di Indonesia seperti adanya yang menunjukan pluralisme hukum. Tapi sarjana Indonesia berpendapat hukum adat harus mendorong pembangunan hukum nasional.

Menurut Kurnia, nasionalisme hukum agraria didorong setelah Indonesia lepas dari kolonialisme Belanda. Hal itu tercermin dari Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960 yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

“Ketentuan tersebut memposisikan UU No.5 Tahun 1960 tidak menghapus pluralisme hukum,” ujarnya.  

Tantangan kenapa Indonesia belum mampu mendaftarkan seluruh bidang tanah karena sistem pendaftaran tanah di Indonesia belum mampu mencakup semua tanah adat. Masyarakat hukum adat takut tanah adat didaftarkan dan diterbitkan sertifikat hak atas tanah karena berpotensi beralih kepemilikannya dari penguasaan adat. Kemudian ada kekhawatiran setelah disertifikat tanah adat dikenakan pajak.

Kurnia yakin jika pemerintah mampu meyakinkan masyarakat hukum adat bahwa pendaftaran tanah tidak menghilangkan kepemilikan mereka terhadap tanah, dan tidak dikenakan pajak, maka Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) berpeluang sukses. Dia berpesan agar sistem administrasi pertanahan di Indonesia tidak menyeragamkan kepemilikan penguasaan tanah. Pendaftaran tanah itu hanya memindahkan data fisik dalam buku, dan kepemilikannya tidak beralih. Status tanah adat harus tetap dimiliki kelompok adat tersebut, bukan individu.

Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hadi Tjahjanto, mengakui selama ini ada kekhawatiran dari masyarakat hukum adat ketika mengikuti PTSL tanahnya beralih atas nama individu, sehingga bisa dijual akibatnya tanah adat hilang. Tapi dia menegaskan pendaftaran tanah tidak mengubah kepemilikan tanah adat menjadi individu. “PTSL tidak mengubah kepemilikan tanah adat.”

Tags:

Berita Terkait