Konsinyasi dan Penitipan Ganti Rugi Pengadaan Tanah di Pengadilan

Konsinyasi dan Penitipan Ganti Rugi Pengadaan Tanah di Pengadilan

Ruang lingkup ‘pembangunan’ yang menjadi dasar pembebasan tanah semakin meluas. Pemilik tanah dapat mengajukan keberatan ke pengadilan.
Konsinyasi dan Penitipan Ganti Rugi Pengadaan Tanah di Pengadilan

Seiring dengan prioritas pembangunan infrastruktur pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebutuhan atas lahan tanah sangat tinggi. Lahan dibutuhkan untuk pembangunan jalan, irigasi, dan proyek-proyek strategis nasional. Namun, dalam praktiknya, membebaskan lahan untuk kebutuhan pembangunan tidak semudah membalik telapak tangan. Faktanya, warga pemilih lahan tak selalu bersedia menyerahkan hak miliknya, atau karena harga yang ditawarkan dinilai pemilik tanah sangat rendah.

Kendala semacam itu sudah sering terjadi, dan sejak lama menjadi hambatan bagi pemerintah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selama ini, jika tak tercapai kesepakatan antara pemerintah yang diwakili tim pengadaan dengan pemilik lahan, pemerintah menitipkan uang di Pengadilan Negeri setempat. Pasal 42 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebutkannya secara eksplisit: “Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat”. 

Orang awam dan beberapa penulis sering menyebut penitipan uang ganti rugi ke pengadilan itu sebagai konsinyasi (Belanda: consignatie; Inggris: consign, consignment; Perancis: depot vonte). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (2015: 726), lema ‘konsinyasi’ mengandung lima pengertian: 1. Larangan bagi tentara untuk meninggalkan kesatrian (dalam keadaan siaga); 2. Larangan meninggalkan tempat kerja karena harus siap bertugas sewaktu-waktu atau harus menyelesaikan tugas yang mendesak; 3. Berkumpulnya sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung; 4. Penitipan uang ke pengadilan (misalnya apabila penagih utang menolak menerima pembayaran); atau 5. Penitipan barang dagangan kepada agen atau orang untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian; jual titip.

Pengertian keempat dalam kamus di atas berkaitan langsung dengan praktik hukum. Di sini, konsinyasi dipergunakan dalam konteks perjanjian utang piutang. Ketentuan konsinyasi diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan ini, penawaran pembayaran tunai yang diikuti penyimpanan atau konsinyasi terjadi jika dalam suatu perjanjian kreditur tidak bersedia menerima prestasi yang diberikan debitur. Wanprestasi dari pihak kreditur itu disebut ‘mora kreditoris’. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional