Konsistensi Prof Maria Sumardjono Terkait Kebijakan Agraria
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Konsistensi Prof Maria Sumardjono Terkait Kebijakan Agraria

Dibutuhkan keteguhan hati dan keberanian sikap (pembentuk UU/kebijakan) untuk mengakui, menghormati, dan melindungi tanah hak serta pemegang haknya yang dijamin UUD Tahun 1945 dan UU PA.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

“Hak menguasai tanah oleh negara bukan dalam arti memiliki (hubungan kepemilikan tanah), bukan tak terbatas, tetapi dibatasi konstitusi (UUD Tahun 1945) dan dibatasi Pasal 2 UU PA. Isi pidato ini masih relevan untuk kondisi kebijakan agraria saat ini, seperti RUU Pertanahan, RUU Minerba yang belum memberi rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Maria kepada Hukumonline di sela-sela usai acara diskusi yang diselenggarakan AMAN, Senin (9/12/2019) di Jakarta.  

 

Konsep “menguasai negara” itu diperoleh dari mandat rakyat dimana negara hanya berwenang mengatur pemanfaaatan tanah, menentukan hubungan dan perbuatan hukum berkaitan dengan tanah termasuk mengawasinya. Kata lain, negara hanya petugas melaksanakan hak masyarakat, mengatur, mengelola, mengawasi, menentukan sumber daya alam (SDA), bumi, air, termasuk tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

“Sejatinya negara hanya penerima mandat dari rakyat yang bersatu sebagai bangsa. Negara juga harus mempertanggungjawabkan pengelolaan SDA itu kepada pemberi mandat, dalam hal ini masyarakat,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum UGM dua periode (1991-1997) ini.      

 

Sebagai sumber daya alam yang langka, tanah mempunyai nilai ekonomis, magis religius, dan fungsi sosial. Namun, penekanan berlebihan terhadap nilai ekonomis tanah, bisa berdampak tidak terkendalinya harga tanah dan menumpuknya tanah pada sebagian kecil masyarakat (yang memiliki modal besar) untuk tujuan investasi atau spekulasi. Kenyataan ini berakibat semakin sulitnya akses kebutuhan tanah bagi sebagian besar masyarakat.            

 

“Kelangkaan tanah dapat menimbulkan konflik atau persaingan memperolehnya antara pihak yang kuat dan lemah secara ekonomi,” kata dia dalam pidatonya.     

 

Dia mengingatkan perumusan kebijakan hukum pertanahan ini harus memberi nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum. “MK kan sudah membuat kriteria/paramater nilai ‘kemanfaatan’ yakni manfaatnya apa, seberapa besar pemerataan manfaatnya itu, bagaimana partisipasi rakyat memutuskan kebijakan yang bermanfaat itu, dan menghormati hak-hak rakyat yang sudah ada (yang dijamin konstitusi, red),” ujar wanita yang pernah menjabat Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (1995–2000) dan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (2002–2005) ini.   

 

Jika dicermati pandangan Prof Maria mengenai “hak menguasai negara” ini selaras dan pernah diadopsi dalam beberapa putusan MK yang memberi tafsir “hak menguasai negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. Seperti termuat dalam putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No.20 Tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan; Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 tentang UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; dan Putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 tentang UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan Putusan MK setelahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait