Kontrak Bioremediasi Chevron Dinyatakan Melawan Hukum
Utama

Kontrak Bioremediasi Chevron Dinyatakan Melawan Hukum

Pengacara menganggap telah terjadi kriminalisasi terhadap kontrak keperdataan PT CPI dan BP Migas.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit

Sofialdi sependapat dengan keterangan saksi dari KLH yang menyatakan, izin pengolahan limbah yang diatur dalam Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya bukan ditujukan bagi PT SJ, melainkan penghasil limbah, PT CPI.

Selain itu, hasil uji sampel tanah yang dilakukan tim ahli bioremediasi Edison, Prayitno, dan Bambang Iswanto tidak dapat menjadi patokan karena lembaga yang berwenang melakukan pengujian adalah KLH. Berdasarkan alasan itu, Sofialdi berkeyakinan kontrak PT SJ dengan PT CPI sah dan tidak dilakukan secara melawan hukum.

Dualisme
Atas putusan majelis, penuntut umum Surma menyatakan akan mengajukan banding. Putusan majelis lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis menghukum Herland 15 tahun penjara. Senada, Herland juga akan menempuh upaya banding karena putusan majelis tidak sesuai fakta-fakta persidangan.

Menurut Herland, putusan majelis hanya mengulang dakwaan dan tuntutan penuntut umum. “Jadi, persidangan selama ini untuk apa? Semua fakta-fakta di persidangan diabaikan. Sebagai contoh, ahli yang dianggap sebagai dewa, sudah dikatakan bahwa Edison adalah peserta tender, tapi sedikitpun tidak disinggung majelis hakim,” tuturnya.

“Bahkan Chevron juga akan melakukan upaya sampai ke pengadilan internasional. Silakan saja kurung saya, tapi kebenaran tidak akan terbelenggu dengan saya dikurung. Saya masih optimis berjuang di pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung. Kalau saya tidak menang, masih ada pengadilan Allah,” imbuhnya.

Pengacara Herland, Dedy Kurniadi menganggap hakim tidak memahami PSC yang menjadi dasar perjanjian antara pemerintah dengan PT CPI. Perjanjian keperdataan yang telah disepakati BP Migas dan PT CPI memiliki mekanisme koreksi dalam over lifting dan under lifting apabila terjadi kekeliruan penghitungan.

“Dalam proses itu terdapat bukti uang AS$9,9 juta telah di-suspend dan sekarang berada di kas negara. Sebagian untuk menahan biaya yang telah dipergunakan PT GPI dan PT SJ. Dengan demikian, negara telah mendapat tiga kali. Sekarang PT SJ malah dituntut lagi membayar AS$6,9 juta,” terangnya.

Dedy berpendapat, seharusnya majelis mempelajari PSC terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan. “Ini artinya negara telah menjalankan suatu dualisme. Di satu sisi tetap menjalankan kontrak, di sisi lalin menyatakan terjadi korupsi. Telah terjadi kriminalisasi suatu perjanjian dan saya kira perlu ketegasan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait