Kontrak dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif Sebagai Objek Jaminan Utang
Kolom

Kontrak dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif Sebagai Objek Jaminan Utang

Suatu kontrak atau perjanjian tidak hanya memberikan hak, melainkan juga membebankan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak di dalam kontrak sebelum pihak yang bersangkutan dapat menagihkan hak yang diberikan dalam kontrak itu.

Bacaan 6 Menit

Jika melihat contoh-contoh kontrak yang disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 9 PP 24/2022, kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif merupakan dasar perolehan hak bagi pelaku ekonomi kreatif. Baik hak tagih untuk pekerjaan yang akan dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif maupun hak sebagai penerima lisensi atau bahkan pemberi lisensi. Tetapi perlu diingat, suatu kontrak atau perjanjian tidak hanya memberikan hak, melainkan juga membebankan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak di dalam kontrak sebelum pihak yang bersangkutan dapat menagihkan hak yang diberikan dalam kontrak itu. Dengan demikian, pembebanan jaminan terhadap sebuah kontrak tidak sesederhana pembebanan jaminan terhadap sebuah hak tagih sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

Di tahun 2006, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor C.HT.01.10-74 Tahun 2006 tentang Permohonan yang di dalamnya menegaskan dan menyebutkan bahwa sikap Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi DKI untuk selanjutnya menolak jaminan fidusia berupa rekening atau hak perorangan lainnya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alasan dari penolakan menerima rekening bank sebagai jaminan fidusia antara lain adalah karena rekening bank merupakan hak perorangan yang melekat pada orang yang mempunyai rekening, tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan. Jika mengacu pada alasan yang digunakan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi DKI, maka hak perorangan yang timbul dari kontrak dalam kegiatan Ekonomi Kreatif pun tidak dapat menjadi objek jaminan fidusia.

Jika melihat esensi dari pemberian jaminan utang yaitu agar ketika debitur wanprestasi, kreditur dapat mengeksekusi objek jaminan dan mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan objek jaminan maka memang seharusnya objek jaminan merupakan benda yang dapat dipindahtangankan kepada pihak ketiga sebagai pembeli. Oleh karena itu, jika berbicara kontrak sebagai objek jaminan utang, maka kita perlu membahas masalah pengalihan kontrak atau lebih tepatnya hak dan kewajiban di dalam kontrak kepada pihak ketiga.

Dalam hal yang dialihkan hanyalah hak tagih yang timbul dari sebuah kontrak yang merupakan piutang atas nama maka pengalihan tersebut dapat dilakukan dengan cara cessie sesuai dengan ketentuan Pasal 613 KUHPerdata. Namun terkait hak tagih, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hak tagih dapat dijadikan objek jaminan sehingga Pasal 613 KUHPerdata akan diterapkan ketika kreditur melakukan lelang eksekusi terhadap hak tagih yang menjadi objek jaminan sebagai cara penyerahan hak tagih kepada pembeli.

Selain cessie, sebuah kontrak juga dapat dialihkan kepada pihak selain para pihak di dalam kontrak dengan cara novasi atau pembaruan utang. Novasi sebetulnya dapat diartikan sebagai penggantian perikatan lama dengan perikatan yang baru. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata yang mendeskripsikan tiga macam jalan untuk pembaruan utang atau novasi:

  1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya;
  2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya;
  3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk atau menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dari perikatannya.

Pasal 1413 ayat 1 KUHPerdata adalah novasi objektif sementara Pasal 1413 ayat 2 KUHPerdata adalah novasi subjektif. Pada novasi subjektif, pergantian pihak dalam kontrak sudah menunjukan adanya novasi. Novasi subjektif ini berbeda dengan subrogasi karena subrogasi baru terjadi bila ada pembayaran atas perikatan yang lama sementara novasi dapat terjadi tanpa adanya pembayaran. Novasi objektif lebih sulit untuk diukur kapan terjadinya karena dalam sebuah perjanjian terdapat banyak syarat dan ketentuan. Kapan perubahan terhadap syarat dan ketentuan dapat dikategorikan sebagai novasi tidak diatur di dalam KUHPerdata.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait