KontraS: Hukuman Mati Pelaku TPKS Belum Menyelesaikan Persoalan
Terbaru

KontraS: Hukuman Mati Pelaku TPKS Belum Menyelesaikan Persoalan

Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
KontraS: Hukuman Mati Pelaku TPKS Belum Menyelesaikan Persoalan
Hukumonline

Kandasnya upaya hukum kasasi terpidana Herry Wirawan dalam kasus rudapaksa terhadap 13 santriwati yang tetap divonis hukuman mati menuai respon dari kalangan abolisionis terhadap hukuman mati. Penolakan kasasi yang tetap menghukum mati menunjukan lalainya negara dalam memahami penjatuhan vonis mati.

“Vonis mati belum tentu menyelesaikan persoalan dan membuat jera para pelaku kekerasan seksual,” ujar Wakil Koordinator II KontraS, Rivanlee Anandar melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/1/2023).

Meski tak setuju dengan penerapan hukuman mati, Rivanlee mendukung penuh penjatuhan pidana seberat-beratnya terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dilakukan terpidana Herry Wirawan. Menurutnya, vonis mati yang diberikan majelis hakim pengadilan tingkat pertama sampai kasasi secara jelas melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun alias non derogable rights.

Bila mengacu aturan internasional, hukuman mati bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Nah, vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim pengadilan tingkat pertama sampai kasasi terhadap Herry Wirawan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang telah meratifikasi konvensi internasional. Yakni Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.

Rivanlee berpendapat kasus kekerasan seksual bila didalami merupakan tindak pidana yang tidak dapat otomatis bakal selesai penanganannya melalui vonis mati terhadap pelaku. Hukuman mati dan penyiksaan bukan jalan keluar dalam penyelesaikan kasus TPKS. Kendatipun argumen penerapan hukum mati dari kasus tersebut dapat mencegah tindakan rudapaksa, tapi statistik dunia tentang pemerkosaan di berbagai negara di dunia menyebutkan sebaliknya

“Bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera,” bebernya.

Dia merujuk pada sejumlah catatan kritis dari ICJR, MaPPI FHUI, Ecpat Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati maupun kebiri yang menyatakan menurunnya jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Sebab, banyaknya kasus TPKS seperti rudapaksa yang tidak dilaporkan. Terlebih pelakunya bagian dari keluarga.

“Seorang anak yang diperkosa telah mengalami banyak permasalahan dan trauma. Kerapkali pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang dipercaya dan korban dapat merasakan trauma yang berlipat jika mengetahui pelakunya dapat meninggal karena laporan pemerkosaannya.”

Tags:

Berita Terkait