KontraS: Hukuman Mati Pelaku TPKS Belum Menyelesaikan Persoalan
Terbaru

KontraS: Hukuman Mati Pelaku TPKS Belum Menyelesaikan Persoalan

Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Layla Adiwitya berpandangan dalam menuntaskan permasalahan TPKS, negara harus hadir. Khususnya dalam aspek penanganan pemulihan korban dan mencegah segala bentuk keberulangan dengan menciptakan ruang aman. Alih-alih berfokus pada agenda tersebut, negara mengembalikan paradigma penghukuman yang kejam dan punitif salah satunya tercermin dalam vonis mati kepada Herry Wirawan.

Menurutnya, setiap adanya pemberitaan mengenai kekerasan seksual, pemerintah merespon dengan kebijakan yang semakin keras. Bahkan vonis hukuman mati sebagai bentuk kekhawatiran, ketimbang mengidentifikasi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurutnya, vonis mati terhadap Herry Wirawan seakan menunjukkan keberpihakan negara kepada korban. Padahal negara hanya fokus untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku, tapi tidak berfokus pada pemenuhan hak-hak korban dalam hal rehabilitasi, kompensasi, restitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Di sisi lain, proses hukum yang panjang dan melelahkan bagi korban justru menimbulkan mekanisme penyelesaian yang tidak pasti dan memadai bagi korban. Dia menilai alokasi anggaran yang disedot dari keuangan negara untuk proses hukum dan eksekusi mati pun tidak sepadan dengan nominal yang diberikan kepada korban.

“Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban.  Dapat dipahami bahwa perlu adanya mekanisme perubahan yang serius dan progresif terhadap sistem penegakan hukum untuk dapat mencegah kembali terjadinya tindak kekerasan seksual yang saat ini masih masif terjadi,” katanya.

Sebagaimana diberitakan, putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung, pada 4 April 2021 menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Herry Wirawan dinilai terbukti melakukan kejahatan sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Tak puas dengan putusan tingkat banding, Herry mengajukan upaya hukum kasasi dengan nomor perkara 5642K/PID.SUS/2022 berlangsung selama 69 hari, sejak diajukan ke MA pada 24 Agustus 2022 dan diputuskan pada 8 Desember 2022 lalu.  MA dalam putusan kasasi menguatkan putusan tingkat sebelumnya. Dengan demikian vonis mati yang diberikan tingkat banding terhadap Herry Wirawan menjadi berkekuatan hukum tetap. Selain itu, Herry masih diharuskan membayar restitusi sebesar Rp 331.527.186 dan hasil rampasan harta kekayaan untuk kebutuhan biaya pendidikan dan kelangsungan hidup anak korban dan bayinya.

Tags:

Berita Terkait