KontraS Kecam Pelibatan BIN dalam Sosialisasi RUU KUHP
Terbaru

KontraS Kecam Pelibatan BIN dalam Sosialisasi RUU KUHP

Pelibatan BIN berpotensi menimbulkan ketakutan bagi masyarakat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah berupaya melakukan sosialisasi masif terhadap sejumlah isu krusial RUU KUHP. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab disapa Prof Eddy menyebut sosialisasi RUU KUHP masih kurang walau sudah dilakukan sebanyak 12 kali tahun lalu. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas 2 Agustus 2022 silam menginstruksikan sosialisasi dilakukan secara masif.

Arahan Presiden Jokowi itu menurut Prof Eddy tak hanya ditujukan kepada Kementerian Hukum dan HAM, tapi kementerian dan lembaga terkait seperti Kemenkopolhukam, BIN, Mabes Polri, Kejaksaan, Kominfo, Kemenag, dan KSP. “Tahun 2022, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait akan melakukan sosialisasi RUU KUHP di 11 kota,” kata Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam sebuah diskusi dalam rangka diseminasi informasi RKUHP, Senin (29/8/2022).

Pelibatan BIN itu mendapat kecaman kalangan masyarakat sipil antara lain KontraS. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyati, menilai pelibatan itu merupakan bentuk eksesifnya Intelijen dalam melaksanakan tugas di luar tupoksinya. “Keterlibatan ini juga semakin memantik eskalasi ketakutan di masyarakat, khususnya dalam membahas berbagai permasalahan yang masih tercantum dalam draf RKUHP terbaru,” ketika dikonfirmasi Kamis, (1/9/2022).

Baca Juga:

Penolakan masyarakat terhadap RUU KUHP atau regulasi yang dinilai bermasalah menurut Fatia bukan ancaman yang harus didekati dengan menggunakan intelijen. Diskursus yang terbangun di publik tidak membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional sebagaimana diatur dalam UU Intelijen. Sehingga, tidak ada urgensi untuk melibatkan intelijen dalam proses sosialisasi suatu regulasi pemerintah.

Pelibatan BIN dalam membantu sosialisasi peraturan perundang-undangan tentu bukan kali pertama. Fatia mencatat surveillance (pengintaian) juga pernah masif dilakukan dalam meredam gelombang penolakan massa terhadap UU Cipta Kerja pada 2020. Selain itu, Kapolri lewat Surat Telegram No. STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja juga meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini.

Tujuan patroli cyber kala itu untuk mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing. “Hasilnya, begitu banyak alat telekomunikasi milik koordinator aksi diretas serta masifnya kekerasan yang digunakan di lapangan,” ujar Fatia.

Tags:

Berita Terkait