Kontribusi DNA Forensik dalam Merevisi Penghukuman yang Salah
Kolom

Kontribusi DNA Forensik dalam Merevisi Penghukuman yang Salah

​​​​​​​Pemanfaatan pemeriksaan DNA dalam peradilan pidana di Indonesia menghadapi beberapa tantangan.

Bacaan 2 Menit

Pertama, pengakuan tersangka diperoleh dengan pemaksaan psikologis atau penyiksaan fisik yang dilakukan oleh penegak hukum. Innocence Projet mencatat terjadinya pengakuan secara terpaksa pada 28% kasus yang berhasil dibebaskan. Di Indonesia, pengakuan yang diperoleh dari kekerasan seperti ini juga masih terjadi. Dalam kasus Andro, penyidik menyiksa Andro dengan memukul dan menyetrum tubuhnya agar terucap pengakuan atas pembunuhan yang tidak dilakukannya. PBHI mencatat setidaknya terjadi 1089 kasus penyiksaan terhadap tersangka di Indonesia (Radjab dkk, 2012).

Kedua, penegak hukum seringkali menggunakan informan yang tidak valid untuk mengungkap suatu kasus. Di AS, penegak hukum bekerjasama dengan terpidana lainnya di rumah tahanan atau lembaga pemasyakatan sebagai informan. Penggunaan informan seperti ini terjadi pada 17% kasus yang dibebaskan oleh Innocence Project. Di Indonesia, informan yang menjebak ditemukan LBH Masyarakat sebagai praktik yang lazim dilakukan oleh Penyidik dalam kasus Narkotika (Gunawan, 2012).

Ketiga, kesalahan saksi dalam mengidentifikasi pelaku. Di AS, hal ini memberikan persentase terbesar, sekitar 69 %, sebagai bukti yang meyakinkan pengadilan untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Di Indonesia, penyidik sempat salah menetapkan tersangka karena kesalahan saksi dalam mengidentifikasi pelaku. Penyidik mengetahui di kemudian hari bahwa saksi mengalami kelainan jiwa. Memori manusia tidaklah sempurna karena berpotensi lupa atau terpengaruhi. Beberapa faktor mempengaruhi keakuratan kesaksaian, seperti: jarak saksi dengan kejadian, umur dan kondisi psikis saksi (stress), atau pertanyaan menyudutkan oleh penyidik (Wise, Fishman, Safer, 2009).

Keempat, ketidakakuratan analisis forensik berkontribusi terhadap 44% kasus salah hukum di AS. Sebelum tes DNA digunakan, aparat penegak hukum AS kerap kali menggunakan sidik jari, perbandingan rambut, atau penggolongan darah (Reno dkk., 2014).  Dibandingkan dengan teknologi terdahulu, tes DNA diyakini sebagai teknologi terkini yang paling valid dan dapat dipertanggungjawabkan dalam membuktikan suatu tindak pidana. Tingkat probabilitas tes DNA lebih tinggi dibandingkan teknologi forensik lainnya (Garett, 2011).

Peluang dan Tantangan di Indonesia

Pemeriksaan DNA pada peradilan pidana Indonesia bukan hal yang baru. Pada tahun 2008 di Indonesia, hasil tes DNA menjadi alat bukti penting untuk Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali David dan Kemat. Mereka merupakan pihak yang tidak bersalah (innocent) namun dihukum oleh Pengadilan Negeri Jombang karena turut serta membunuh Asrori. Tujuh bulan paska putusan tersebut, keduanya dibebaskan karena hasil tes DNA membuktikan mayat yang diidentifikasi bukanlah Asrori sebagaimana dakwaan jaksa. Oleh karenanya, dia terbukti tidak melakukan tindak pidana pembunuhan dan bebas.

Kasus tersebut dapat menjadi rujukan sekaligus peluang bagi pihak yang tidak bersalah memproleh keadilan melalui pemeriksaan DNA. Terdakwa atau terpidana dapat mengajukan kepada pengadilan untuk diberi kesempatan melakukan pemeriksaan DNA terhadap barang bukti. Hasil pemeriksaan DNA kemudian dapat digunakan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli apabila dihadirkan ahli forensik untuk menjelaskannya di pengadilan.

Pemanfaatan pemeriksaan DNA dalam peradilan pidana di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Pertama, terdakwa atau terpidana memiliki hambatan untuk mengakses barang bukti yang disimpan oleh penegak hukum. Akses terhadap barang bukti tersebut penting untuk melakukan pemeriksaan silang, termasuk pemeriksaan DNA.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait