KPA: Bank Tanah Berpotensi Legalkan Perampasan Tanah
Terbaru

KPA: Bank Tanah Berpotensi Legalkan Perampasan Tanah

Bank Tanah mengorientasikan tanah sebagai barang komoditas yang dapat diperjualbelikan dan dimonopoli oleh segelintir orang. Kondisi ini membuat ketimpangan, kemiskinan struktural dan konflik agraria yang menimpa petani, buruh tani, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, nelayan dan perempuan semakin meningkat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Lebih lanjut, Dewi menyebut Pasal 40 PP No.64 Tahun 2021 menempatkan Bank Tanah memiliki keistimewaan terkait kewenangan pemegang HPL. Pemanfaatan HPL atas nama Bank Tanah oleh pihak ketiga, dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah (HGU, HGB, HP) di atas HPL secara sekaligus setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan. Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah secara bersamaan melanggar Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007.

Dewi juga melihat ada ketentuan yang fatal dalam ketentuan Pasal 41 PP 64 Tahun 2021 yaitu HPL dengan hak masyarakat yang sudah mendiami tanah paling singkat 10 tahun. Apabila dilaksanakan secara formalistik/legalistik tanpa mengindahkan kajian komprehensif terkait aspek historis, sosial dan budaya penguasaan tanah oleh rakyat, maka “sesuai peraturan” rakyat dapat kehilangan hak atas tanahnya.

Secara tegas Dewi menyebut Bank Tanah tidak mengurai ketimpangan kepemilikan tanah dan konflik agrarian. Bahkan lebih parah karena mengangkangi reforma agraria. Bank Tanah ditujukan untuk memberi kemudahan dan menjamin ketersediaan tanah untuk investor dan pengusaha. Ironi karena kemudahan itu dilakukan di tengah mandeknya pemenuhan hak rakyat atas tanah melalui penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.

Menurut Dewi, Bank Tanah lebih dari sekedar administrasi pertanahan, lebih cocok disebut lembaga penjamin, alokasi, dan ketersediaan tanah bagi investasi. Pasal 19 jo Pasal 40 PP No.64 Tahun 2021 mengatur Bank Tanah wajib menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Bank Tanah melaksanakan fungsi publik (pembuat regulasi) dan privat (pembuat perjanjian).

“Dari seluruh analisa dan kondisi terkini kebijakan mengenai Bank Tanah semakin jelas jika badan baru ini dibentuk untuk menjadi lembaga business care,” bebernya.

Bank Tanah diposisikan seolah sebagai pelengkap kerja Kementerian ATR/BPN, tapi faktanya Bank Tanah punya kewenangan sebagai regulator dan eksekutor pengadaan tanah. Sekalipun reforma agraria masuk dalam tujuan dan fungsi Bank Tanah, tapi menurut Dewi ini sesat pikir. Reforma agraria merupakan upaya koreksi atas ketimpangan struktur pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Berbeda dengan Bank Tanah yang tujuannya mempercepat pengadaan tanah. Pemerintah melalui Bank Tanah menyamakan reforma agraria sebagai pengadaan tanah untuk pembangunan dan dijalankan dengan mekanisme mendapatkan keuntungan.

Meskipun Pasal 4 PP No.64 Tahun 2021 menyebut Bank Tanah bersifat transparan, akuntabel dan nonprofit, tapi Dewi melihat pasal lainnya malah mengatur sebaliknya. Misalnya, Pasal 14 mengatur Bank Tanah tidak memiliki kejelasan untuk kebutuhan atau kepentingan siapa, sehingga pemanfaatan tanah bersifat pragmatis. Pendistribusian tanah pada Pasal 15 tidak menjelaskan proses redistribusi yang akan berjalan. Konsep redistribusi masih kabur dan tidak spesifik sasarannya. Selain itu, jaminan ketersediaan tanah oleh Bank Tanah sebagaimana Pasal 16 sifatnya sangat luas dan minim evaluasi serta monitoring.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait