Konflik agraria merupakan salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan besar (PR) besar pemerintah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan sepanjang tahun 2022 organisasinya mencatat ada 212 ‘letusan’ konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2021 dimana luas lahan terdampak 500.062 hektar dan 198.895 KK menjadi korban.
“Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, namun dari sisi luasan wilayah terdampak naik drastis hingga 100 persen. Begitu pula dari sisi jumlah korban yang terdampak mengalami kenaikan hampir 50 persen dibandingkan tahun 2021,” kata Dewi dalam peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Ia melanjutkan konflik paling banyak terjadi di sektor perkebunan 99 kasus, infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian/agribisnis 4 kasus, dan pesisir dan pulau-pulau kecil 4 kasus. Dewi menyebut investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan kembali mendominasi sebagai penyebab konflik agraria, terutama pada perkebunan komoditi global kelapa sawit (palm oil).
Baca Juga:
- Ombudsman Temukan Potensi Maladministrasi Kebijakan Reforma Agraria
- 3 Alasan KPA Desak Revisi Perpres Reforma Agraria
- Ada Beragam Definisi dan Modus Mafia Tanah, Simak Penjelasannya!
Dari total 212 ‘letusan’ konflik yang terjadi, 99 kasus disumbangkan oleh sektor perkebunan dengan luasan wilayah konflik mencapai 377.197 hektar dan mengakibatkan korban terdampak sebanyak 141.001 KK. Sebanyak 80 dari 99 kasus konflik agraria terjadi di sektor sawit. “Tingginya ‘letusan’ konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan oleh pemerintah,” ujar Dewi.
Dewi melihat bisnis sawit dijalankan dengan prosedur dan praktik yang lekat dengan pelanggaran. Lahan-lahan raksasa perkebunan monokultur berbasis sawit banyak berasal dari praktik perampasan tanah dan penggusuran masyarakat. Termasuk masalah pengadaan lahannya yang berasal dari tukar-guling kawasan hutan.
Ada juga perusahaan yang baru mengantongi izin lokasi, tanpa sosialisasi dan persetujuan (free prior informed consent/FPIC) lalu beroperasi begitu saja. Menurut Dewi, perusahaan itu bertindak sebagai penguasa dan pemilik tanah. Masyarakat tak jarang juga dikagetkan dengan HGU yang tiba-tiba dinyatakan terbit di atas perkampungan dan wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian masalah kemitraan yang tidak berkeadilan dirasakan petani/pekebun plasma.