KPK: Penetapan Tersangka Budi Gunawan Bukan Domain Praperadilan
Berita

KPK: Penetapan Tersangka Budi Gunawan Bukan Domain Praperadilan

Kuasa Hukum Budi Gunawan melaporkan KPK ke Kejagung karena dianggap melakukan pembiaran.

Oleh:
NOV/ANT
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Foto: SGP
Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Foto: SGP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, sesuai hukum acara pidana, sesungguhnya penetapan tersangka bukanlah domain praperadilan. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Zulkarnain ketika menanggapi upaya praperadilan yang diajukan Komjen (Pol) Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Praperadilan itu untuk salah tangkap atau salah tahan. Kalau proses penyidikan itu kan proses hukum, lantas kepada tersangka diberikan hak untuk didampingi penasihat hukum. Namun, kalau misalnya di dalam penyidikan ada salah tangkap atau salah tahan, itulah namanya praperadilan," katanya, Rabu (21/1).

Memang sesuai Pasal 1 angka 10 KUHAP, wewenang praperadilan adalah untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 79, 80, dan 81 KUHAP.

Pasal 79 berbunyi, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”

Pasal 80 berbunyi, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.”

Sedangkan, Pasal 81 menyatakan “Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.”

Oleh karena itu, Zulkarnain tidak memahami mengapa penasihat hukum Budi Gunawan mempraperadilankan penetapan tersangka ke pengadilan. Ia juga tidak mengerti mengapa ada penasihat hukum yang melaporkan KPK ke Kejaksaan Agung (Kejagung). "Jadi, nanti kita lihat saja lah," ujarnya.

Walau begitu, Zulkarnain mempersilakan penasihat hukum Budi Gunawan untuk mengajukan upaya hukum. Ia menjelaskan penyidikan dan penetapan tersangka Budi Gunawan sudah sesuai prosedur. Ia berharap semua proses hukum berjalan kondusif dan cepat sesuai harapan masyarakat.

"Artinya semua pihak taat kepada ketentuan hukum. Sangkaan tindak pidana korupsi kan ada hukum acaranya yang sama-sama dipahami secara baik. Nanti, jika proses ini terlambat akan merugikan kita semua, termasuk menambah kerugian negara dengan biaya dan proses yang lama," tuturnya.

Zulkarnain juga berharap proses penyidikan perkara Budi tidak berlarut-larut agar masyarakat tidak terganggu dengan hiruk pikuk pemberitaan. Ia meminta biarlah proses hukum itu dipercepat. "Kita kontrol dengan penasihat hukum, pengontrolnya juga ada pengadilan, saya kira itu cukup," imbuhnya.

Senada, Ketua KPK Abraham Samad juga menyatakan proses penyidikan dan penetapan tersangka Budi Gunawan sudah sesuai prosedur hukum. Selain itu, penyidikan terhadap Budi Gunawan telah melalui Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku di KPK. Ia menegaskan tidak ada yang dilanggar KPK.

Pagi tadi, salah seorang tim penasihat hukum Budi Gunawan, Eggi Sudjana melaporkan Komisiner KPK ke Kejagung. Ia menganggap KPK telah melakukan pembiaran atas penanganan perkara kliennya, mengingat penyelidikan perkara Budi Gunawan telah dilakukan KPK sejak Juni 2014.

Namun, entah mengapa, lanjut Eggi, selama tujuh bulan KPK tidak menindaklanjuti penyelidikan tersebut. KPK baru menindaklanjuti ketika Budi Gunawan diusulkan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri. KPK juga baru mengumumkan penetapan tersangka sehari menjelang fit and proper test di DPR.

Dengan demikian, Eggi menilai penetapan tersangka Budi Gunawan bernuansa politis. Ia menduga KPK telah melanggar ketentuan Pasal 421 KUHP. Terlebih lagi, KPK tidak berwenang menangani perkara Budi karena ketika tahun 2003-2006, Budi hanya eselon II atau bukan penyelenggara negara.

Tags:

Berita Terkait