Sektor pertambangan mineral bukan logam dan batuan memiliki perputaran nominal uang yang tinggi sehingga menjadikan sektor ini digeluti berbagai pihak. Sehingga, tata kelola pertambangan yang mengakomodir seluruh pihak mulai dari masyarakat, pembangunan, pengusaha, dan pemerintah daerah perlu tercipta agar dan tidak menimbulkan masalah termasuk korupsi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menjelaskan sektor pertambanganMineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dalam beberapa kasus menimbulkan banyak persoalan. "Faktor politik yang memungkinkan pemangku kepentingan terus berganti setiap periode membuat kebijakan yang terus berubah," ungkapnya Senin (28/11).
Peralihan perizinan dari Kabupaten/Kota, kemudian beralih ke provinsi, lalu ditarik ke pusat, dan kini dikembalikan ke provinsi lagi menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Kondisi ini, dari sisi produk hukum tentu sudah melahirkan pelbagai perizinan pertambangan baik yang sudah berlaku, sudah mati, atau harus diperpanjang.
Baca Juga:
- Pemerintah Resmi Cabut 1.118 Izin Usaha Pertambangan Minerba
- Perlunya Penataan Regulasi untuk Kemajuan di Sektor Migas
“Alhasil itu semua menimbulkan banyak hal yang perlu dirapihkan termasuk di dalamnya, misalnya soal pungutan. Bicara pungutan tentu dalam aspek hukum, pemungut atau pungutan dari negara kepada rakyat tentu harus ada legalitas,” kata Ghufron.
Ghufron menyampaikan ada tiga aspek legalitas yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada dasar hukum atau legalitas formil bagi badan yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan pungutan. Kedua, aspek besaran nilai pungutan, hal ini menjadi penting dan untuk meminimalisir anggapan ketidakadilan antar pihak.
Ketiga, aspek untuk apa pungutan itu dilakukan. Selama ini, asumsi pemerintah dan daerah dalam hal penarikan pungutan seakan-akan hanya untuk mendapatkan kas daerah. Padahal dalam perpektif melindungi, pungutan juga harus digunakan untuk kepentingan lingkungan.