KPK Tetapkan Irjen Kemendes-Auditor BPK Jadi Tersangka Kasus Suap
Utama

KPK Tetapkan Irjen Kemendes-Auditor BPK Jadi Tersangka Kasus Suap

Suap diduga diberikan Inspektur Jenderal di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sugito kepada Auditor Utama BPK untuk mengubah status laporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Oleh:
ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Foto: RES
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Foto: RES
KPK menetapkan Inspektur Jenderal (Irjen) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito dan Auditor Utama BPK Rochmadi Saptogiri sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi itu berupa pemberian hadiah atau janji terkait pemeriksaan laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2016 untuk mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam dan dilakukan gelar perkara siang tadi disimpulkan ada dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pemeriksaan keuangan Kemendes tahun 2016, dan KPK meningkatkan status ke penyidikan dan menetapkan 4 orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu (27/5).

Selain Laode, konferensi pers itu juga dihadiri oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Moermahadi Soerja Djanegara dan Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar. "Empat tersangka itu adalah SUG (Sugito) selaku Irjen Kemendes, JBP (Jarot Budi Prabowo) eselon 3 Kemendes, RS (Rochmadi Saptogiri) eselon 1 di BPK dan ALS (Ali Sadli) auditor BPK," tambah Syarif.

Sebagai pihak pemberi Sugito dan Jarot disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 kuhp jo pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP. (Baca Juga: Tersangka-Tersangka Korupsi di Bulan Suci)

Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Sedangkan sebagai penerima Rochmadi dan Ali disangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 atau 5 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Keempat orang tersebut diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat (26/5) di gedung BPK dan Kemendes PDTT. "Sebagai latar belakangnya, pada Maret 2017 dilakukan pemeriksaan atas laporan Kemendes PDTT untuk anggaran 2016," tambah Syarif. (Baca Juga: Partai, Auditor BPK, Hingga Deputi Seskab Juga Disebut Kecipratan Duit 'Haram' e-KTP)

Dalam rangka memperoleh opini WTP, Sugito melakukan mendekatan ke pihak auditor BPK. "Kode uang yagn disepakati 'PERHATIAN' kemudian terkait untuk WTP di Kemendes PDTT tahun 2016," ungkap Syarif.

Total komitmen yang dijanjikan adalah Rp240 juta. Uang Rp200 juta sudah diberikan pada Mei awal, sedangkan pada OTT ditemukan sisa uang yaitu Rp40 juta di kantor Rochmadi. "Dalam proses OTT selain diamankan uang Rp40 juta yang diduga diserahkan ALS dan juga ditemukan Rp1,145 miliar dan 3000 dolar AS ditemukan di brankas di ruang RS. Uang ini masih KPK pelajari apakah berhubungan dengan kasus ini atau tidak, statusnya ditentukan kemudian," tambah Syarif.

Cari Pengganti
Sementara itu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo segera mencari pengganti Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

"Kalau sudah tersangka otomatis diganti, tapi kalau terbukti tidak bersalah akan kembali lagi. Organisasi tidak bisa vakum, selama beliau tersangka harus segera diganti dan pergantiannya secara internal akan dilakukan besok pagi, siapa yang ganti akan kita lakukan besok," kata Eko.

Eko mengaku bahwa Sugito adalah ketua tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) di Kemendes PDTT dan giat untuk melakukan reformasi birokrasi. "Saya juga tidak percaya seorang seperti beliau yang vokal memberantas korupsi di kementerian ini, banyak memberikan peringatan kepada pegawai-pegawai, banyak menegus pegawai, sampai terlibat dengan hal ini," tambah Eko.

Ia awalnya juga tidak meyangka Sugito menyuap auditor BPK untuk mendapatkan status WTP. Menurutnya, Irjen termasuk yang getol mengajarkan dan membimbing semua pejabat-pejabat di kementerian, bahkan bersedia kerja sampai malam.

Eko juga mengatakan bahwa Sugito rajin menyampaikan perkembangan mengenai laporan keuangan atau perbaikan kondisi di Kemendes PDTT. "Irjen selalu 'update' saya, saya selalu ingin yang terbaik dan Pak Irjen yang mendukung saya. Pak Irjen yang membantu saya dan beliau selalu sampaikan hasil audit kita masih kurang ini atau ini, untuk segera dilengkapi. Saya senang dan mendapat kabar bahwa terjadi peningkatan luar biasa tapi kaget ada kejadian ini," tutur Eko.  

Sedangkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Moermahadi Soerja Djanegara mengaku bahwa lembaganya sudah memiliki sistem untuk menjaga kualitas pemeriksaan, namun ia pun mengakui bahwa sistem itu belum dapat menghilangkan kolusi.

"Kasus ini pembelajaran buat BPK, kita punya sistem tapi kenapa bisa dilanggar? Sebagus apapaun sistem kalau ada kolusi ya tidak bisa baru kita ketahui kalau ada tangkap tangan," kata Moermahadi.

"Kita sudah lakukan 'qualitiy control' dan 'quality inssurance', tapi proses yang ditemukan dari kejadian ini, kita tidak tahu seperti apa. Hingga ada keputusan berkekuatan hukum di persidangan baru kita tahu kenapa hal terjadi, kalau sekarang kita tidak tahu, kita tunggu dari penyidikan," tambah Moermahadi.

Suap itu diduga dilakukan oleh Sugito kepada Rochmadi dan timnya dengan total nilai komitmen Rp240 juta untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap anggaran Kemendes PDTT.

"Saya ingin jelaskan bagaimana proses pemberian opini dalam kementerian. Jadi kita melakukan pemeriksaan dilakukan tim. Tim terdiri anggota tim, ketua tim sampai penanggung jawab. Proses yang dilakukan dibangun dari hasil pemeriksaan, temuan pemeriksaan seperti apa. Dari temuan apakah temuan mempengaruhi pada opini atas laporan keuangan suatu kementerian," ungkap Moermahadi.

Kriterianya yang ditentukan BPK dalam pemeriksaan adalah (1) apakah laporan keuangan sesuai standar akuntasi, (2) apakah ada kecukupan bukti, (3) apakah sesuai dengan sistem pengendalian internal dan (4) bagaimana ketaatan terhadap perundang-undangan.

"Dari temuan, tim melihat apakah itu berpengaruh terhadap secara materil terhadap laporan keuangan atau tidak. Kita biasanya memakai 'materiality' yang disusun tim sampai proses pembahasan di penanggungjawab," tutur Moermahadi.

Secara khusus untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016 yang mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), menurut Moermahadi ditetapkan dalam sidang badan yang dihadiri oleh 9 pimpinan BPK.

"Dari LKPP keseluruhan dilakukan pembahasan diikuti semua anggota. Kita bersembilan termasuk semua penanggung jawab dibahas satu per satu dari kementerian, kenapa dia diberi 'disclamer' atau WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Masing-masing tim mempresentasikan baru kemudian di sidang badan akan melihat apakah standar akuntasi atau standar audit," ucap Moermahadi, menjelaskan.

Meski Kemendes PDTT akhirnya mendapatkan predikat WTP untuk laporan keuangan tahun 2016 atau meningkat dari tahun 2015 yang mendapatkan opini WDP, opini WTP untuk anggaran 2016 bisa berubah.

"Apakah opini bisa berubah? Kita akan lihat dari hasilnya tapi teorinya kalau ada kesalahan proses pemberian auditnya dan tidak memenuhi standar auditnya bisa saja namanya 'restatement' tapi kita tidak tahu apakah karena itu, karena yang kita lakukan menurut saya 'on track' secara keputusan di sidang badan," ujar Moermahadi, menegaskan.

Pada 2014 lalu, laporan keuangan Kemendes PDTT bahkan mendapat opini "Disclaimer" dari BPK.


Tags:

Berita Terkait