KPK Tidak Bisa Lagi Menggunakan Delik Materiil
Utama

KPK Tidak Bisa Lagi Menggunakan Delik Materiil

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Dawud Djatmiko untuk sebagian dalam perkara permohonan Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh:
CR
Bacaan 2 Menit

 

 

Delik Formil Tetap Dipertahankan

MK dalam pertimbangannya juga berpendapat bahwa frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Oleh karenanya persoalan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalisme norma.

 

Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.

 

Pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

 

Kata dapat sebelum frase merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menurut pemohon, menunjukkan tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Sehingga, kata dapat mempunyai pengertian tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara secara nyata dan tindak pidana yang tidak merugikan negara.

 

Sementara itu Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean setelah selesai sidang menyatakan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tersebut kembali ke UU No 24 Prp Tahun 1960, sebelum adanya UU No 3 Tahun 1971, yaitu untuk buktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU.

 

Tumpak mengatakan KPK tidak lagi bisa menerapkan bahwa perbuatan melawan hukum itu hanya bertentangan dengan asas kepatutan dan asas keadilan seperti melukai rasa keadilan di masyarakat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: