KPPU Hukum Puluhan Pengusaha Daging Sapi
Berita

KPPU Hukum Puluhan Pengusaha Daging Sapi

Menilai putusan KPPU tak sesuai fakta, ada Terlapor yang sudah memastikan mengajukan keberatan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
KPPU Hukum Puluhan Pengusaha Daging Sapi
Hukumonline

Puluhan pengusaha sapi dihukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus dugaan kartel daging sapi. Putusan itu dijatuhkan setelah KPPU melakukan investigasi sejak 2009. Para Terlapor dinilai membuat perjanjian yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.

Putusan KPPU itu dibacakan pada Jumat (22/4) lalu. Majelis KPPU, Chandra Setiawan, membacakan bahwa 32 Terlapor terbukti melakukan pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999  tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Pasal 11 UU Antimonopoli menegaskan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 19 huruf c menyebutkan, pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.

Saat membacakan putusan, Chandra menjelaskan majelis KPPU menemukan fakta adanya  kesepakatan yang dilakukan para pengusaha dengan difasilitasi Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO). Majelis menemukan serangkaian pertemuan yang pada akhirnya menunjukkan kesamaan tindakan yang dilakukan oleh para Terlapor. Ada juga rescheduling sales yang dikategorikan sebagai penahanan pasokan sapi impor di wilayah Jabodetabek. Ada lagi pengaturan pemasaran yang berdampak pada kenaikan harga yang tidak wajar dan merugikan kepentingan umum.

“Tindakan menahan pasokan dilakukan para Terlapor secara seragam dengan cara yang tidak merealisasikan jumlah kuota impor sapi (SPI) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah,” kata Chandra.

Mempertimbangkan fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan investigator dan para Terlapor, majelis KPPU memutuskan 32 Terlapor terbukti melanggar Pasal 11 dan 19 huruf c UU Antimonopoli. Para Terlapor dihukum untuk membayar denda yang bervariasi, mulai dari Rp71 juta hingga Rp21 miliar.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan perhitungan denda didasarkan pada UU Antimonopoli, yakni denda berkisar minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar. Tetapi angka tersebut tidak mutlak, karena majelis juga memiliki patokan sendiri. Majelis mendasarkan denda pada 30 persen dari keuntungan yang diperoleh saat terjadi kenaikan harga yang tidak lazim. “Lazimnya kenaikan harga (daging sapi) itu 5-7 persen tiap tahun. Nah ketika 2015 kemarin, kenaikan harga terjadi secara tidak wajar,” jelas Syarkawi.

Investigator KPPU, Rofik, menerangkan investigasi terhadap fluktuasi harga daging sapi ini sudah dilakukan KPPU sejak 2009. Namun pada 2015, terjadi ketidakwajaran kenaikan harga sehingga investigasi lebih dalam dilakukan. Berdasarkan hasil investigasi, KPPU juga menemukan ada perusahaan yang berafiliasi dan memiliki hubungan kerabat antara satu perusahaan dengan yang lain. Fakta ini juga menjadi pertimbangan majelis komisi dalam memutus perkara kartel sapi ini. “Ini ditemukan, ada hubungan kekerabatan,” ungkap Rofik.

Rian Hidayat selaku Kuasa Hukum Terlapor I, V, XXII, XXIX, XXX, dan XXXI, menyatakan kliennya akan mengajukan keberatan atas putusan KPPU. Rian berdalih putusan majelis tak sesuai fakta persidangan. Misalnya, mengenai perjanjian. Tidak ada Terlapor yang membenarkan perjanjian dalam pertemuan yang difasilitasi APFINDO.

Selain itu, kata Rian, Pasal 11 dan Pasal 19 UU Antimonopoli lebih mengatur produksi. Sebaliknya yang dilakukan para pengusaha bukan mengatur produksi. Putusan majelis, kata dia, juga tidak menjelaskan kebutuhan daging sapi di Indonesia sehingga tidak jelas argumentasi mengenai tindakan menahan pasokan dari kuota tertentu. Lagipula, menurut dia, tidak ada bukti yang menunjukkan ada perjanjian mengenai harga. Kalaupun ada asosiasi, tidak bisa dikatakan bahwa asosiasi mewadahi perjanjian. “Bisa-bisa orang enggak mau bikin asosiasi lagi, (takut) dibilang juga afiliasi sebagai bentuk persaingan tidak sehat,” ujarnya.

Terlapor XX dihukum paling tinggi. Nurmalita Malik, Kuasa Hukum Terlapor XX, mengatakan akan membicarakan putusan dengan kliennya sebelum memutuskan keberatan atau tidak. Tetapi ia yakin kliennya tidak melakukan kartel seperti dituduhkan. “Kita akan bicarakan dulu dengan klien,” tegasnya.

Dalam kasus dugaan kartel daging sapi ini KPPU menghukum para Terlapor berupa denda dalam mata uang rupiah. PT AKM  (1,9 miliar), PT APS (1,2 miliar), PT AGP (4 miliar), PT AJK (6,4 miliar), PT AGK (1,4 miliar), PT AS (8,8 miliar), PT BMT (2,8 miliar), PT CABS (3,8 milair), PT EI (2,1 miliar), PT FMP (856 juta), PT GGL (9,3 miliar), PT LJP (3,3 miliar), PT LMaL (3,9 miliar), PT LMeL (651 juta), PT PT (4,7 miliar), PT RAI (3,3 miliar), PT SaA (5,4 miliar), PT SNI (1,8 miliar), PT SeA (1,1 miliar), PT TUM (21,3 miliar), PT WMP (5,8 miliar), PT KGU (1,4 miliar), PT SGL (505 juta), PT NTF (3,8 miliar), PT KAR (194,9 miliar), PT SCK (71 juta), PT BPS (803 juta), PT CMT (1,3 miliar), PT KLJ (2 miliar), CV MASang (852 juta), CV MASam (Rp967 juta), dan PT KAS (441 juta).

Majelis Komisi juga mengeluarkan tiga rekomendasi kepada Pemerintah. KPPU menilai ada kebijakan Pemerintah terkait kuota yang menyebabkan harga sapi melonjak.

Rekomendasi pertama ditujukan kepada Kementerian Pertanian. KPPU meminta Kementerian Pertanian membuat kebijakan yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan melalui ketersediaan pasokan sapi dan keterjangkauan harga.

Kedua, KPPU meminta Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan pemberian persetujuan kuota sapi impor dalam jangka waktu 1 (satu) tahun di muka kepada importir guna menjamin kepastian distribusi. Ketiga, KPPU juga meminta Kementerian Perdagangan memeriksa hubungan afiliasi di antara para importir guna menghindari persaingan usaha tidak sehat.
Tags:

Berita Terkait