Kritik Atas Pasal Penghinaan Kekuasaan Umum dalam RKUHP
Utama

Kritik Atas Pasal Penghinaan Kekuasaan Umum dalam RKUHP

Seharusnya tidak bisa dipidana sepanjang perbuatan merupakan ungkapan ekspresi, kritik atau menyampaikan pendapat tuntutan masyarakat (kepentingan publik) yang tidak mengandung sifat melawan hukum. Diusulkan agar kata “penghinaan” dalam Pasal 347 ayat (1) dan 348 ayat (1) RKUHP diubah menjadi kata “fitnah”, tuduhan yang diketahui tidak benar.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Pasal 350

(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Sedangkan Penjelasan Pasal 349 ayat (1) RKUHP menyebutkan, “Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Yang dimaksud dengan “kekuasaan umum atau lembaga negara” antara lain, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintah daerah”.

Azmi yang juga menjabat Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu mengingatkan Pasal 35 jo Pasal 12 ayat (2) dan (3) RKUHP termasuk Penjelasan Pasal 218 menjadi norma penawar titik keseimbangan makna kepentingan umum yang dikategorikan sebagai alasan pembenar. 

Pasal 12 ayat (2) menyebutkan, Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Sementara Pasal 35 menyebutkan, “Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan alasan pembenar”.

“Jadi tidak perlu khawatir karena perbuatan tersebut bukanlah perkara pidana, apalagi dalam perkara ini prosedur pelaksanaannya adalah delik aduan,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait