Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet
Utama

Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet

Putusan ini dianggap mengafirmasi PP No.71 Tahun 2019 sebagai rujukan hukum membatasi HAM. Pertimbangan hukumnya dinilai tidak menggali lebih dalam persoalan dan pembatasan terhadap hak-hak masyarakat dalam berinternet.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Putusan MK No.No.81/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendapat sorotan organisasi masyarakat sipil. Intinya amar putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum tertanggal 27 Oktober 2021 itu menolak seluruh permohonan yang diajukan Arnoldus Belau dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia) dkk sebagai pemohon.

Para pemohon mengajukan pengujian Pasal 40 ayat (2b) UU ITE terkait wewenang memutus akses internet yang bermuatan melanggar hukum. Ketentuan tersebut dinilai memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses informasi dan/atau dokumen elektronik secara sepihak tanpa diiringi dengan mekanisme pengawasan dan kewajiban administratif. Hal ini dinilai bertentangan dengan amanat konstitusi terkait hak atas informasi sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD Tahun 1945.

Kewenangan pemerintah memutus internet secara sepihak itu dinilai para pemohon sebagai tindakan tidak sah atau sewenang-wenang karena tidak didasari aturan yang jelas serta didahului dengan penerbitan KTUN yang tertulis, termasuk tidak ada ruang pengaduan untuk pengujian, serta pemulihan bagi pihak-pihak yang dirugikan secara langsung atas pemutusan/pemblokiran atau penapisan konten.

Namun Majelis MK berpendapat sebaliknya dalam putusannya. Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak serta hak untuk berkomunikasi dan hak atas informasi dalam suatu negara hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD Tahun 1945 terhadap Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.

”Dengan demikian permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian kesimpulan sebagian pertimbangan hukum putusan ini. (Baca Juga: Ahli: Wewenang Pemutusan Akses Internet Seharusnya dengan Beschikking)

Dalam salah satu pertimbangan putusan, Mahkamah menyebutkan apa yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran para Pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tentu tidak akan terjadi karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum, sebagaimana yang dicontohkan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut dalam Penjelasan Pasal 96 huruf a PP 71 Tahun 2019.

Kuasa Hukum Pemohon, Ade Wahyudin, mengaku kecewa terhadap putusan tersebut. MK dianggap tidak mengkaji lebih dalam persoalan dan pembatasan terhadap hak-hak masyarakat dalam berinternet. “Hal ini terlihat dari pertimbangan hukum putusan tersebut yang terlihat dangkal dan tidak mengurai hak-hak berinternet,” kata Ade Wahyudin saat dihubungi, Jumat (29/10/2021) kemarin.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait