Kritik Pasal Unjuk Rasa KUHP Baru Sebagai Delik Ketertiban Umum
Terbaru

Kritik Pasal Unjuk Rasa KUHP Baru Sebagai Delik Ketertiban Umum

Semestinya memuat definisi yang lebih ketat terkait “menggangu kepentingan umum”. Harus membaca teks Pasal 256 KUHP nasional secara utuh dan konteksnya serta penjelasannya, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly saat menyampaikan pandangan pemerintah saat pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly saat menyampaikan pandangan pemerintah saat pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES

Resmi sudah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) atau RUU KUHP disetujui menjadi UU alias KUHP Nasional dalam rapat paripurna. Namun demikian masih terdapat sejumlah materi yang menjadi sorotan masyarakat. Seperti pengaturan tentang pasal unjuk rasa yang berpotensi menggerus hak konstitusional warga dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan KUHP baru memuat ancaman pemidanaan baru terhadap aksi pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa pemberitahuan. Tindakan tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum sebagaimana tertuang dalam rumusan norma Pasal 256 KUHP terbaru.

Menurutnya, pelanggaran terhadap Pasal 256 KUHP baru diancam dengan pidana 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp10 juta sepanjang aksi pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Menurutnya, pasal tersebut semestinya memuat definisi yang lebih ketat terkait “mengganggu kepentingan umum”.

“Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya,” ujarnya melalui keterangannya, Selasa (6/12/2022).

Baca Juga:

Selain itu, kata “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin. Dengan begitu, hanya memerlukan pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang, serta tidak adanya pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah. Menurutnya, redaksional Pasal 256 malah cenderung lebih kolonial dari hukum buatan Belanda.

“Asal pasal ini dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya hanya penjara 2 minggu, sedangkan dalam Pasal 256 menjadi penjara 6 bulan,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait