Kritik Publik Berujung Somasi Berisiko Hambat Demokrasi
Terbaru

Kritik Publik Berujung Somasi Berisiko Hambat Demokrasi

Pejabat publik seharusnya memberi klarifikasi jika memang tidak terlibat seperti yang disampaikan dalam hasil kajian. Penyampaian somasi tersebut merupakan salah satu bentuk penghalangan keterlibatan masyarakat dalam urusan pemerintahan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Dalam dua bulan terakhir terdapat dua kasus somasi terhadap aktivis yang melayangkan kritik terhadap pejabat publik. Dua kasus somasi ini yaitu Kepala Staf Presiden Moeldoko dengan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dengan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. 

Untuk diketahui, lontaran somasi yang diajukan Moeldoko ini merespons hasil riset ICW yang memaparkan keterlibatan Moeldoko dalam promosi invermectin sebagai obat Covid-19. Sedangkan, somasi yang diajukan Luhut ini sehubungan laporan penelitian Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya yang diluncurkan YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia bersama#BersihkanIndonesia.

Menyoroti kondisi ini, Kuasa Hukum Fatia yang juga Ketua YLBHI Asfinawati menyayangkan respons pejabat publik yang melontarkan somasi terhadap aktivis tersebut. Menurutnya, hasil kajian yang disampaikan oleh lembaga nirlaba ini merupakan bentuk kontrol masyarakat terhadap pemerintah, sehingga konstitusional. Selain itu, hasil kajian yang disampaikan juga menyoroti potensi kepentingan pribadi oleh pejabat publik. (Baca: Somasi Ketiga, Moeldoko Masih Beri Kesempatan ICW Buktikan Tuduhannya)

“Konflik kepentingan harus dijauhi oleh pejabat publik. Tanpa korupsi pun pejabat publik yang punya konflik kepentingan bisa dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” jelas Asfi, Selasa (31/8).

Selain UU Tipikor, terdapat juga Peraturan Presiden (Perpres) No.13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Kemudian, Asfi mengatakan pejabat publik tersebut seharusnya memberi klarifikasi jika memang tidak terlibat seperti yang disampaikan dalam hasil kajian tersebut. Menurutnya, penyampaian somasi tersebut merupakan salah satu bentuk penghalangan keterlibatan masyarakat dalam urusan pemerintahan. 

“Somasi yang menimpa Fatia sebagai Koordinator KontraS dan teman-teman lain menuunjukan relasi terbalik dalam demokrasi. Bagaimana rakyat jalankan kedaulatannya ya dengan sampaikan kritik dengan ikut serta dalam urusan pemerintahan. Posisinya terbalik harusnya rakyat bukan pejabat publik yang mensomasi, harusnya rakyat yang minta pejabat publik transparan,” jelas Asfi.

Kuasa Hukum Fatia lainnya, Julius Ibrani, dari PBHI mengatakan hasil kajian yang disampaikan Fatia merupakan bentuk tanggung jawab kelembagaan. Selain itu, dia menyatakan KontraS memiliki rekam jejak positif sebagai lembaga yang fokus mempublikasi riset serta mengadvokasi permasalahan masyarakat korban HAM. Dia juga menyammpaikan hasil kajian yang disampaikan Fatia tersebut juga masih dalam koridor hukum karena menyasar pada pejabat publik.

“KontraS secara kelembagaan memiliki rekam jejak yang panjang dan valid dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan termasuk secara khusus di Papua. Luhut sebagai pejabat negara seharusnya merespon dengan sarana dan ruang yang bersifat publik seperti diskusi, klarifikasi dan lain-lain. Bukan dengan Somasi yang bernuansa personal. Sudah salah kaprah di situ,” kata Julius.

Somasi Luhut ini menambah fenomena serangan serupa yakni musim somasi yang dilayangkan pejabat pemerintah kepada publik akhir-akhir ini. Ini adalah bentuk pembungkaman dan bukti tidak adanya transparansi maupun akuntabilitas terkait informasi publik. Hasil riset ini juga merupakan salah satu bentuk kerja-kerja Pembela Hak Asasi Manusia dan bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi dan dijamin oleh negara.

Hal itu diatur dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, tren somasi yang dilayangkan pejabat negara ini merupakan bentuk anti kritik. Padahal pernyataan ataupun penyampaian informasi publik dan kritik terhadap pejabat negara merupakan salah satu bentuk partisipasi publik yang dilindungi sebagaimana Pasal 28E ayat (3) UUD 1045, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 44 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

“Somasi itu ruang personal bukan dilakukan pejabat publik. Yang kami maksudkan menegasikan dari ruang publik jadi personal ini jadi tindakan represif oleh pejabat publik, kami menolak itu,” jelas Julius.

Sebelumnya, kuasa hukum Luhut Binsar Panjaitan, Juniver Girsang, mengatakan bahwa apa yang disampaikan Harris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam akun youtubenya adalah tidak benar dan tidak berdasar. Dalam acara salah satu program TV, Juniver meminta Harris Azhar dan Fatia untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut.

“Apa yang disampaikan dalam channel Youtube rekan saya Harris Azhar tidak benar dan tidak berdasar. Sekali lagi kami minta dijelaskan dalam jawaban somasi kami. Namun, tentu ada pertanggung jawaban dalam berita bohong, itu ada pertanggung jawaban,” katanya.

Tags:

Berita Terkait