Kronologis Perkembangan Pemikiran tentang Keharusan Terpidana Menghadiri Sidang Permohonan PK
Utama

Kronologis Perkembangan Pemikiran tentang Keharusan Terpidana Menghadiri Sidang Permohonan PK

Sejak 2010, sudah ada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan kehadiran pemohon dalam sidang permohonan PK bersifat imperatif. Kehadiran pengacara hanya mendampingi, bukan mewakili klien.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Sebenarnya, SEMA No. 1 Tahun 2012 bukan titik awal kewajiban terpidana selaku pemohon PK hadir di persidangan. Sebelumnya, filosofi keharusan terpidana hadir telah berkembang dalam regulasi dan pertimbangan hakim-hakim Mahkamah Agung. Filosofi yang terbangun dalam pertimbangan hakim juga merujuk pada peraturan perundang-undangan, dalam hal ini KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Hukumonline mencoba menelusuri pemikiran yang berkembang dalam praktik, dan mendasari lahirnya SEMA No. 1 Tahun 2012. Perkembangan pemikiran digambarkan secara periodik. 

Tahun 1981

Pada penghujung tahun 1981, mulai berlaku UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang kemudian lebih dikenal sebagai KUHAP. KUHAP mengatur upaya hukum luar biasa yang disebut Peninjauan Kembali (PK). Pasal 263 ayat (1) menegaskan bahwa PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Permohonan PK disidangkan oleh pengadilan asal yang memutus perkara. Pasal 265 ayat (2) menegaskan dalam pemeriksaan di persidangan, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Dari hasil pemeriksaan permohonan itu dibuat Berita Acara Pemeriksaan yang diteken oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera.

Tahun 1983

Pasal 263 ayat (1) KUHAP hanya memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK. Pertanyaannya, apakah kuasa hukum dapat mengajukan PK atas nama kliennya? Salah satu tokoh hukum nasional yang membenarkan PK oleh pengacara adalah M. Yahya Harahap. Pandangan Yahya Harahap dapat dibaca dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (2002: 597).

Ia merujuk pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Beleid yang dikeluarkan tanggal 10 Desember 1983 ini memuat lampiran yang antara lain menafsirkan tentang kuasa hukum mengajukan kasasi. Meskipun Pasal 244 KUHAP hanya menyebut hak ‘terdakwa atau penuntut umum’ mengajukan kasasi, SK Menteri Kehakiman ini mengizinkan kasasi diajukan kuasa hukum asalkan ada surat kuasa. Jadi, sebenarnya poin 24 Lampiran SK Menteri Kehakiman tadi tak menyinggung PK. Tetapi Yahya Harahap berpandangan pedoman itu dapat dipergunakan untuk PK demi konsistensi pemberian hak pengacara untuk kasasi dan mengajukan PK. SK yang ditandatangani Menteri Kehakiman Ali Said itu tersebut diterbitkan sebagai regulasi pelaksanaan KUHAP.

Tahun 1984

Pada 2 November 1984, Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana Umum menerbitkan Surat No. 4984/TU/84/3951/Pid yang ditujukan kepada Ketua PN Jakarta Pusat, dan kemudian disebarluaskan kepada seluruh ketua Pengadilan Negeri.

Surat Ketua Muda MA ini antara lain memuat pedoman: (i) kehadiran pemohon dan jaksa dalam pemeriksaan berdasarkan Pasal 265 ayat (2) KUHAP merupakan keharusan; (ii) Pemanggilan terhadap pemohon yang berada di Lapas dilakukan melalui penetapan yang berisi perintah kepada Lapas untuk menghadapkan pemohon ke pengadilan; (iii) Pemanggilan pemohon yang berada di luar Lapas dilakukan dengan surat pemanggilan yang disampaikan kepada pemohon oleh penitera/jurusita; (iv) Pemeriksaan terhadap permohonan PK dilakukan oleh hakim dalam persidangan pengadilan.      

Tahun 1988

Pada 10 Desember 1988, Ketua Mahkamah Agung Ali Said –sebelumnya menjadi Menteri Kehakiman—menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana ‘In Absentia’. SEMA ini dikeluarkan karena banyaknya kasus terdakwa tidak memenuhi panggilan sidang, sehingga beberapa perkara diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

Tags:

Berita Terkait