Kronologis Perkembangan Pemikiran tentang Keharusan Terpidana Menghadiri Sidang Permohonan PK
Utama

Kronologis Perkembangan Pemikiran tentang Keharusan Terpidana Menghadiri Sidang Permohonan PK

Sejak 2010, sudah ada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan kehadiran pemohon dalam sidang permohonan PK bersifat imperatif. Kehadiran pengacara hanya mendampingi, bukan mewakili klien.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Sidang In Absentia Tak Boleh Serampangan).

Mahkamah Agung mencurigai beberapa terpidana sengaja memberikan kuasa hukum kepada pengacara untuk mewakilinya setelah panggilan berkali-kali. Kecurigaan MA, terdakwa sengaja tidak mau hadir dengan maksud untuk menguntungkan dirinya. Padahal, tindakan demikian menghambat jalannya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusan. Jika ketua-ketua pengadilan menemukan praktik demikian, MA meminta supaya pengadilan menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara terpidana tanpa kecuali.

Tahun 2009

Tahun inilah adalah momentum penting dalam perkembangan pemikiran mengenai pelarangan PK tanpa kehadiran pemohon prinsipal. Pemikirannya dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung No. 64 PK/Pid.Sus/2009 dalam perkara atas nama terdakwa H. KGS Taswin Zein. Pejabat Kementerian Ketenagakerjaan ini didakwa korupsi bersama orang lain pada Proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan. Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman empat tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar 100 juta rupiah. Putusan ini berkekuatan hukum tetap. Lalu, terpidana mengajukan upaya hukum PK. Majelis menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Hal yang menarik dan relevan adalah pertimbangan hakim. Pertama, putusan diambil tidak dengan suara bulat. Mayoritas (3) orang hakim sepakat menyatakan permohonan tidak dapat diterima, satu hakim menyatakan ditolak, satu lagi menyatakan dikabulkan. Komposisinya sebagai berikut:

Hukumonline.com

Kedua, pertimbangan mayoritas hakim melihat persoalan tidak semata-mata dari KUHAP, tetapi juga dari peran advokat mendampingi klien. Juga mengkritik pada doktrin yang berpandangan bahwa kuasa hukum dapat mewakili kliennya mengajukan PK dengan merujuk pada Lampiran SK Menkeh.  

Tahun 2010

Jika pada tahun 2009 ada putusan yang memperlihatkan ketidakseragaman pandangan hakim-hakim agung, maka setahun kemudian muncul putusan yang menunjukkan keseragaman pandangan. Perkara dalam putusan MA No. 74 PK/Pid.Sus/2010 yang diputus pada 10 Juli 2010 juga ditangani lima orang hakim (Artidjo Alkostar, MS Lumme, Krisna Harahap, Leopold Hutagalung, dan Surya Jaya). Kelima hakim sepakat menyatakan permohonan PK tidak dapat diterima karena permohonan tidak memenuhi syarat formil Pasal 265 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP.

Sebagaimana putusan MA No. 64 PK/Pid.Sus/2009, kali ini putusan MA No. 74 PK/Pid.Sus/2010 juga kaya pertimbangan. Pada intinya, majelis hakim menegaskan bahwa pemohon dan jaksa hadir dalam sidang pemeriksaan permohonan PK dan dapat menyampaikan pendapat. Selain itu, Berita Acara Pemeriksaan harus ditandatangani antara lain oleh pemohon. Ternyata, sidang pertama dan kedua permohonan PK hanya dihadiri kuasa hukum Pemohon. Majelis berpandangan bahwa kehadiran pemohon PK bersifat imperatif. Artinya, tidak dapat diwakili kuasa hukumnya. Peranan kuasa hukum dalam permohonan PK hanya mendampingi, bukan mewakili.

Dalam pertimbangannya, majelis juga menyinggung pentingnya menaati aturan KUHAP untuk mencegah pemohon PK mengajukan upaya hukum dari tempat persembunyian atau pelarian. Majelis memberi contoh kasus korupsi PT Goro Batara Sakti dan Bulog, kasus cessie Bank Bali atas nama terdakwa Djoko Tjandra, dan kasus Adelin Lis. Terpidana dalam kasus-kasus itu tidak dieksekusi karena terpidana melarikan diri. Filosofi pentingnya kehadiran terpidana dalam sidang permohonan PK dapat dibaca dalam pertimbangan majelis. “Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, kehadiran terpidana dan keharusan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, memiliki makna tersendiri dalam rangka mencegah larinya terpidana yang mengakibatkan putusan yang sudah inkracht tidak dapat dieksekusi”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait