KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas
Kolom

KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas

Kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan Pasal 2 ayat (2) dalam KUHP baru.

Bacaan 6 Menit

Jadi nantinya perda-lah yang akan mengatur perbuatan apa yang dilarang (bersumberkan dari hukum adat) dan mengancam pelakunya dengan sanksi pidana pokok tertentu (misal penjara atau denda). Dengan demikian hakim akan menjatuhkan pidana pokok kepada pelaku berdasarkan perda, baru kemudian menjatuhkan pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat berdasarkan KUHP baru.

Sekilas argumen di atas logis. Namun ada dua masalah dengan logika tersebut. Pertama, seandainya hal tersebut dapat (secara normatif) dilakukan, maka keberadaan Pasal 2 ayat (1) menjadi kehilangan makna dan tujuannya. Tanpa klasul baru ini sejak dahulu pemerintah daerah sudah dapat mengadopsi pidana adat menjadi hukum lokal melalui perda. Jadi nilai lebih yang diberikan KUHP versi 2.0 ini hanyalah mengatur jenis sanksi baru berupa pemenuhan kewajiban adat.

Kedua, karena KUHP baru mengatur bahwa sanksi maksimum yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran pidana adat hanyalah pidana tambahan, maka bisa jadi pengaturan pidana pokok seperti penjara atau denda dalam perda yang mengatur pelanggaran pidana adat dianggap bertentangan dengan hukum. Dengan tafsir demikian bisa dikatakan KUHP baru justru menghapuskan kemungkinan kriminalisasi pelanggaran hukum adat melalui perda.

Singkatnya, kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan Pasal 2 ayat (2) dalam KUHP baru. Karena kelemahan dalam konstruksi pengaturannya, pasal yang dimaksudkan untuk menegasikan asas legalitas tersebut tidak dapat digunakan untuk mempidanakan mereka yang melanggar hukum adat. Dengan kata lain, secara tidak disengaja, KUHP baru tidak (jadi) melanggar asas legalitas!

*)Rifqi S. Assegaf, PhD., adalah Pengajar STHI Jentera, Direktur Program pada KEMITRAAN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait