Kurtubi: Restorasi Tata Kelola Migas Sesuai Putusan MK
Aktual

Kurtubi: Restorasi Tata Kelola Migas Sesuai Putusan MK

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kurtubi: Restorasi Tata Kelola Migas Sesuai Putusan MK
Hukumonline
Pakar perminyakan Kurtubi mengatakan pemimpin Indonesia ke depan harus mampu merestorasi tata kelola minyak dan gas bumi agar Bangsa Indonesia tidak terus menerus dirugikan.

"Restorasi dan perubahan tata kelola migas harus dilakukan. Harus tegas diatur bahwa kekayaan alam, termasuk migas ini milik negara, bukan hanya dikuasai negara," katanya di Semarang, Rabu (15/1).

Hal itu diungkapkannya usai seminar "Optimasi Potensi Migas Nasional Menuju Ketahanan Energi Berkelanjutan" yang diprakarsai Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Menurut Kurtubi, pengelolaan migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sudah salah kaprah karena justru merugikan Bangsa Indonesia yang kaya dengan potensi migas.

"Mahkamah Konstitusi (MK) kan sudah memutuskan mencabut 17 pasal dalam UU Migas. Yang paling fatal, pasal tentang kuasa pertambangan karena diserahkan kepada pelaku usaha. Itu yang tidak boleh," katanya.

Bila diserahkan kepada pelaku usaha, seperti perusahaan asing, kata dia, mereka memiliki wewenang apa pun dengan migas sehingga mestinya yang boleh memegang kuasa pertambangan adalah negara. "Yang boleh memegang kuasa pertambangan adalah negara sendiri, kemudian kalau ingin memproduksi, mengolah (migas) diserahkan kepada perusahaan negara," kata pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Pelanggaran konstitusi selanjutnya dalam UU Migas, tutur dia, yakni tata kelola hulu diserahkan kepada lembaga pemerintah sehingga kedudukan pemerintah menjadi sejajar dengan perusahaan asing. "Jadi, hubungannya menjadi 'business to government' (B to G). Itu melanggar konstitusi, menghilangkan kedaulatan negara. Mestinya sejajar, 'G to G', presiden dengan presiden, menteri dengan menteri negara lain," katanya.

Demikian juga, kata dia, kesejajaran hubungan "B to B" (business to business) dalam kontrak antara perusahaan negara dan perusahaan asing, sementara pemerintah tidak ikut berkontrak sehingga tetap berdaulat. "Kalau pemerintah disejajarkan dengan perusahaan asing maka pemerintah harus mematuhi isi kontrak. Meski isi kontrak itu ternyata merugikan negara. Ya, seperti yang terjadi sekarang ini," katanya.

Kurtubi mencontohkan semasa UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara menyerahkan kuasa pertambangan kepada Pertamina yang kemudian berkontrak dengan perusahaan asing.

"Ketika itu Pemerintah Orde Baru kan merevisi bagi hasil dari semula 65:35 (Indonesia : asing) menjadi 85: 15 agar lebih menguntungkan. Pemerintah RI berdaulat karena tidak ikut berkontrak," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait