Landasan Hukum Jadi Alasan Kemendikbud Kebut Bahas RUU Kebudayaan
Berita

Landasan Hukum Jadi Alasan Kemendikbud Kebut Bahas RUU Kebudayaan

Dalam RUU ada pasal yang memastikan dukungan sumber daya finansial dari pemerintah daerah untuk mendukung tata kelola kebudayaan.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Hilmar Farid. Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Hilmar Farid. Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan untuk segera disahkan menjadi UU pada tahun ini. Bila perlu, bulan Oktober mendatang, RUU ini telah rampung dibahas dan bisa disahkan menjadi UU.

"RUU sudah masuk dalam tahap pembahasan, sudah ada panja, dan ini seminar sebagai rujukan formal," ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid di sela seminar nasional kebudayaan di Jakarta, Selasa (6/9).

Hilmar berharap peraturan tersebut segera disahkan karena berkaitan dengan tata kelola kebudayaan. Selama ini, banyak kegiatan kebudayaan belum memiliki landasan hukum. “Sejumlah kegiatan pelestarian budaya di Indonesia juga memerlukan landasan hukum,”katanya.

Selain itu di beberapa daerah, pusat kesenian dan taman budaya banyak yang tidak terawat. Ke depan, lanjut Hilmar, jika sudah ada landasan hukumnya maka pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pembangunan pusat-pusat kebudayaan. (Baca Juga: Alasan Pelestarian Budaya, Pasal Kretek Masuk RUU Kebudayaan)

"Kami ingin agar ada pasal dalam RUU ini untuk memastikan dukungan sumber daya finansial dari pemerintah daerah untuk mendukung tata kelola kebudayaan," tambahnya.

Kemendikbud juga berupaya agar tidak terjadi tumpang tindih antara RUU Kebudayaan dan aturan lainnya seperti RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. "Ini yang harus kami jaga, agar tidak terjadi tumpang tindih," kata Hilmar.

Hilmar mengatakan, beberapa permasalahan mendasar lain yang harus diselesaikan yakni pembangunan ekonomi yang belum diimbangi dengan strategi kebudayaan yang kuat, sehingga mengakibatkan terjadinya krisis kebudayaan. "Krisis kebudayaan ini memperlemah jati diri bangsa, ketahanan budaya dan nasional."

Permasalahan lainnya kemampuan dalam mengelola keragaman budaya yang dimiliki saat ini belum optimal. Hal tersebut ditandai dengan makin seringnya terjadinya diskriminasi SARA dalam masyarakat, belum terjadinya rasa tenggang rasa yang tinggi, ada disorientasi tata nilai, serta semakin meningkatnya pengalihan ruang publik menjadi ruang swasta sehingga terbatasnya ruang bagi masyarakat dalam mengekspresikan kebudayaan.

"Selain itu juga terjadi belum kuatnya sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam usaha pemajuan kebudayaan Indonesia," kata Hilmar.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan selama ini masalah kebudayaan kerap diabaikan. Para pemangku kepentingan lebih mementingkan masalah pendidikan daripada kebudayaan. "Selama ini pasal 31 dan pasal 32 selalu dipisahkan, padahal seharusnya tidak bisa dipisahkan," katanya.

Menurutnya, aspek kebudayaan perlu dilindungi untuk melindungi aspek spritual dan aspek lokal. "Kebudayaan itu sangat banyak, untuk itu perlu dilindungi aspek spritual dan aspek lokalnya, sehingga tidak diambil oleh pihak asing," ujar Ferdiansyah. (Baca Juga: Masih Banyak Perdebatan, Pembahasan RUU Kebudayaan Akan Ditunda)

Ia menjelaskan bahwa selama ini, yang lebih banyak diperhatikan adalah bidang pendidikan, sementara kebudayaan masih berjalan sendirian. Padahal idealnya, baik pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.Nilai penting yang tertuang dalam RUU Kebudayaan adalah memajukan kebudayaan nasional. Hal itu yang saat ini sedang dibahas oleh DPR.
Tags:

Berita Terkait